26

459 49 1
                                    

I'M BACK!

.

~Mungkin ini adalah jalan yang terbaik.~

.

Melvin masih ingat hari itu, hari dimana langit berpayungkan kelabu yang begitu pekat. Dengan sisa-sisa hujan yang membasahi seluruh penjuru kota. Suara tangis Arsa dan Arsy menjadi latar musik yang membuat duka terasa begitu hebat.

Di sudut ruang tamu dimana jasad bunda dibaringkan, Melvin hanya bisa terdiam dengan pikiran bercabang. Diusianya yang baru saja menginjak usia 15 tahun, ia harus memikirkan banyak hal. Ia dipaksa dewasa dihadapan takdir yang membuatnya menjadi yatim piatu di usia muda.

Sebagai sulung, saat itu Melvin hanya memikirkan nasib adik-adiknya. Meski bukan saudara kandung, tetapi Arsa dan Arsy menjadi alasan utama mengapa ia memilih untuk berusaha tegar. Kebahagiaan mereka adalah tujuan bagi anak berusia 15 tahun yang baru saja kehilangan dunianya.

"Bundaa..." Tangis si bungsu Arsy terdengar semakin nyaring. Anak yang selalu bermanja pada bunda itu, kini tidak berdaya di hadapan jasad ibu sambungnya. "Bundaa, aku mau bunda."

Arsa dan Arsy masih berusia lima tahun ketika bunda tiada. Mereka saat itu mungkin tidak begitu mengerti apa arti dari sebuah kematian. Tapi mendapati sosok bunda yang tak bergeming dengan penutup kain yang menyelimuti seluruh tubuhnya, keduanya berakhir histeris.

Melvin tidak punya kuasa untuk mengusaikan air mata di kedua pasang mata adiknya itu. Kesedihan juga tengah menyelimuti dirinya sampai ia merasa seluruh dunianya berhenti berputar.

Jika diibaratkan, bunda adalah elemen penting dalam hidup Melvin. Selama 16 tahun ia hidup, bunda selalu menuntun setiap langkahnya, memberitahunya setiap jalan yang baik, yang harus dan tidak seharusnya di lakukan. Bunda yang penuh perhatian selalu menjadi poros hidup Melvin selama ini.

Lantas ketika poros itu kehilangan radar peredarannya, Melvin seolah kehilangan arah. Ia hanya bisa menatap kedua adiknya dengan perasaan yang tidak menentu. Separuh ia berusaha untuk menjadi kakak yang kuat, separuhnya lagi, jiwanya ketakutan setengah mati.

"Itu siapa?"

"Atau jangan-jangan itu ayahnya anak-anak?"

"Dia kesini."

"Ssttt, jangan ngegosip."

Bisik-bisik mulai terdengar ramai ketika hujan kembali merambah. Denting suara rintik-rintik menghantam atap samar-samar menyertai keributan tiba-tiba yang perlahan menarik perhatian Melvin.

Di samping jasad almarhumah sang bunda, ibu-ibu yang tengah mengaji tampak saling berbisik ramai. Mereka seperti tidak mempunyai malu untuk bergosip disaat penuh duka seperti itu. Melvin ingin marah, ingin meraung menyalahkan orang-orang yang telah menganggu ketenangan bunda dengan omongan-omongan sampah yang tidak bermutu.

Langkah kaki Melvin bergerak dari sudut ruangan. Mendekat dengan segenap kesedihan dan kemarahan yang bergumul menjadi satu. Kedua belah bibirnya sudah terbelah, hendak mencerca ibu-ibu penggosip itu sebelum sosok tinggi besar menghadang tubuhnya. Pemandangan ibu-ibu itu kontan saja berubah menjadi sosok pria paruh baya yang memenuhi seluruh penglihatan Melvin.

"Kamu Melviano?" Tanya pria paruh baya itu. Postur tinggi besarnya benar-benar menjadi pusat perhatian dan keramaian orang-orang bergosip.

Melvin mengernyit heran melihat pria itu. Wajahnya tampak begitu familiar sampai-sampai berbayang diingatan. Melvin ingat pernah melihat wajah itu di suatu tempat, tapi dimana dan siapa, ia sungguh tidak bisa mengingatnya sama sekali. Kepalanya malah berdengung cukup nyaring karena berusaha menggali lebih dalam.

The 7th Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang