24

501 54 8
                                    

I'm back!!

.

~Kupikir, kau yang paling mengerti mengenai diriku. Tapi ternyata, itu hanya bentuk kenaifanku saja.~

.

Suasana kota Jakarta masih begitu pekat oleh mendung yang tidak berkesudahan. Sejak kemarin malam, hujan terus mengguyur tanpa henti yang menyebabkan banjir di beberapa titik kota. Pagi sudah lama menyapa, tetapi mentari masih enggan menampakkan diri.

Sekarang sudah hampir tengah hari, lapar sudah mendera Melvin untuk kedua kalinya. Tetapi meski cacing-cacing di perut terus merongrong meminta makan, yang ia lakukan hanyalah duduk diam tanpa melakukan apa-apa.

Sudah berhari-hari berlalu, luka di tubuh Melvin pun sudah pulih sepenuhnya, namun keadaan Haksa belum ada perubahan. Anak itu masih berada dalam kondisi mengkhawatirkan dimana dirinya sama sekali belum sadarkan diri. Mereka sudah mengusahakan banyak hal untuk kesembuhan Haksa, tetapi seolah enggan, anak itu masih saja terlelap dengan alat-alat penunjang hidup yang menempel hampir di seluruh tubuh.

Melvin tidak bisa melihat keadaan seperti ini terlalu lama, ia tidak bisa melihat saudara-saudaranya menderita sebanyak ini. Telah banyak yang Melvin rampas dari mereka dan kini, ia tidak ingin mengambil apapun lagi, terlebih, Haksa.

"Kamu tahu gak, Sa, kenapa kakak bersikeras buat bertahan?" Berteman dengan hening, Melvin kembali bermonolog seperti kebiasaannya beberapa hari terakhir. Melvin membuka percakapan satu arah itu dengan senyuman tipis yang nyaris pudar. "Bukan karena kakak mau ngerebut kebahagian kalian, Sa, tapi kakak mau mengusahakan banyak hal."

Sepuluh tahun ini, Melvin selalu merasakan rasa bersalah yang tiada akhir. Kehidupan yang diambilnya dari keluarga Wirawan bak sebuah duri yang perlahan-lahan menusuknya semakin dalam.

Memang, pada kenyataannya, ia juga bagian dari keluarga itu. Hanya saja, kehadirannya bukan sesuatu yang diinginkan. Melvin hanyalah anak dari seorang wanita simpanan yang dengan lancang ingin diakui sebagai anak sah. Anak tidak tahu diri yang telah menghancurkan satu keluarga bahagia.

"Karena kakak, kalian kehilangan banyak hal, kebahagiaan, tawa, bahkan tante Karin--mama kalian." Melvin menunduk dalam, tidak kuat merasakan sesak yang membuat dadanya terasa akan meledak. Setetes air meluncur di kedua belah pipi Melvin saat itu, turun dengan deras bersama pedih yang menyayat hati.

Melvin tergugu untuk waktu yang cukup lama, meraung tertahan merasakan duri yang semakin dalam menikam hatinya. Kesedihan itu terlalu besar Melvin rasakan, sampai-sampai ia sendiri tidak bisa menjelaskannya dengan apapun selain tangisan.

Terkadang di saat pikirannya terlalu penuh, Melvin berandai-andai jika saja dirinya tidak pernah terlahir kedunia, jika saja ia lahir dari sebuah pernikahan yang sah. Bahkan jika ia terlahir dari keluarga sederhana, asalkan ayah dan bunda bersama, Melvin merasa itu sudah cukup.

Tapi sayangnya, Tuhan berkata lain. Andai-andai yang hanya bisa terwujud di kepalanya itu, selamanya hanyalah sebuah harapan semu. Waktu tidak bisa diputar kembali dan takdir tidak bisa di rubah. Pada kenyataannya, Melvin terlahir sebagai anak dari hubungan terlarang yang haram.

"Kakak sedang mengusahakan kalian, Sa, kakak ingin mengembalikan tawa kalian, kebahagiaan kalian, juga keutuhan kalian. Makanya, ayo bangun, Haksa, bangun, ya?" Melvin menggenggam tangan Haksa semakin erat. "Semua usaha kakak bakalan sia-sia kalau salah satu dari kalian gak ada."

Bagi Melvin, meski tanpa dirinya, keluarga Wirawan harus bahagia. Mereka pantas mendapatkan segala hal terbaik yang sempat terenggut paksa. Demi Tuhan, Melvin bersedia menanggung rasa pahit dan duka mereka, sendirian. Jadi jika bisa memilih, Melvin ingin ia saja yang menderita, Rean dan adik-adiknya harus bahagia.

The 7th Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang