~Manusia terkadang tidak berdaya di hadapan takdir. Perlunya untuk menerima dan berdamai dengan keadaan.~..
Haksa suka hujan. Namun, lebih dari basah yang membuat sekujur tubuhnya kuyup, ia jauh lebih menyukai suaranya. Tetesan air ketika menyentuh tanah, ketika terjatuh pada dedaunan hijau, atau ketika menghantam kerasnya genting. Suara-suara hujan itu memiliki mantra ajaib yang mampu membuat hati Haksa tenang. Apalagi saat mendengar desau dedaunan bersama angin, Haksa amat sangat menyukainya.
Hujan akan selalu menjadi keadaan favorit bagi Haksa. Apapun yang terjadi saat hujan, asalkan bukan badai, Haksa akan dengan senang hati menyambut kedatangannya.
Sayangnya, itu adalah hujan di masa lalu. Hujan dimana Haksa masih memiliki rumah yang hangat untuk pulang, hujan ketika mama masih bisa memeluknya dengan erat untuk menghalau dingin.
Kenangan hujan tidak pernah menyenangkan lagi sejak malam itu ada. Malam dimana seharusnya tawa Nana paling keras terdengar, malam yang harusnya menjadi hari paling bahagia untuk adik bungsu mereka.
Haksa mungkin tidak terlalu ingat bagaimana malam menyebalkan itu di mulai. Tidak tahu dari mana datangnya tiga anak kecil yang tiba-tiba sudah berada di rumah mereka dan menjadi penyebab kekacauan itu ada. Kenangan Haksa hanya di mulai dari tangis mama yang begitu nyaring, dari pertengkaran kedua orang tuanya yang begitu hebat. Kejadian yang menjadi awal mula kemarahan dalam dirinya tumbuh semakin besar.
"Gimana, enak?"
Lamunan Haksa buyar begitu saja ketika mendengar suara Jian yang begitu nyaring. Tidak seperti Jian yang selalu tenang dan tidak banyak berbicara, entah apa yang merasuki anak itu, ia menjadi lebih cerewet dari biasanya. Tidak terhitung berapa kali pertanyaan yang sama terus terucap, Jian akan selalu menatapnya dan juga Naren dengan mata yang berbinar.
"Enak, Bang. Lo mau berapa kali lagi sih nanyain itu?!" Balas Haksa. Ia sedikit jengah mendapati sikap kakaknya yang sedikit berlebihan. Atau mungkin, tidak cocok dengan wajah tegasnya yang terkadang terlihat menyeramkan. Senyum bulan sabit Jian tidak mampu membuat hati Haksa tergerak untuk memaklumi sikap kakaknya itu saat ini. Sebab dimata Haksa, Jian benar-benar terlihat sangat aneh.
"Ya, make sure aja sih, takutnya lo bilang enak cuma buat nyenengin gue aja." Sahut Jian.
Haksa mendengus keras-keras. Kekesalan di wajahnya mendapat balasan gelak tawa dari Naren yang sejak tadi membisu bersama nasi goreng buatan Bang Jian. Di hadapan sarapansarapan mereka yang terlambat, perlahan tawa itu berderai menjadi air mata. Narendra tiba-tiba saja terisak dengan pilu di hadapan kedua kakaknya yang menatap penuh iba.
"Na..." Suara bang Jian tercekat saat mendapati tangisan pilu itu. Lelaki dengan rahang tegas tersebut bergerak tanpa mempedulikan bagaimana lengannya yang menyentuh api pada lilin aroma terapi yang selalu di nyalakan kala makan tengah berlangsung. Lepuh pada jemarinya, di biarkan begitu saja sementara ia memeluk raga Naren dengan erat. "Maaf, abang minta maaf, Na."
Naren malah tertawa mendengar permintaan maaf itu, di tengah air mata yang masih berderai di kedua pipinya. "Haha, aduh, kenapa Abang malah jadi minta maaf sih? Maaf ya, aku malah ngerusak suasana." Ia berucap serak.
Jian dalam dekapan Naren, menggeleng ribut. Lengannya yang tengah merengkuh semakin erat membelit tubuh Naren. "Enggak, gak apa-apa. Kamu boleh nangis, Na, nangis aja."
Mendengar ucapan bang Jian, Naren lantas melirik Haksa yang duduk di sampingnya. Pemuda itu menatap Naren dengan pandangan kosong. Tidak ada kesedihan atau pun emosi yang terbayang pada wajahnya. Haksa menjelma menjadi Haksa yang dingin dan gelap, Haksa yang tidak bisa di sentuh; Haksa yang sama, yang Naren kenal selama 9 tahun terakhir.

KAMU SEDANG MEMBACA
The 7th Of Us
Teen FictionDarah memang selalu lebih kental dari pada air, namun tidak menutup kemungkinan jika tidak semua persaudaraan memiliki cukup cinta dan kasih sayang. Narendra hanya memiliki kebencian untuk keluarganya, terutama kakak tertuanya yang bernama Melviano...