Naren tidak pernah meminta hal macam-macam. Ia hanya ingin kehidupan yang damai, juga keluarga yang hangat seperti 9 tahun lalu. Naren sungguh merindukan kenangan manis yang sempat ia cicipi ketika masih kecil. Orang tua yang harmonis, saudara yang saling merangkul dan mengasihi, meski tidak jarang harus saling bertengkar dan berebut mainan.Iya, itu hal wajar sebenarnya. Manusia dilahirkan dengan berbagai macam karakter dan sifat, mereka memiliki sudut pandang dan caranya sendiri dalam mengambil sikap. Tidak heran rasanya jika suatu waktu perselisihan terjadi sebab perbedaan cara pandang. Apalagi dalam kehidupan bersaudara yang setiap detiknya mengharuskan untuk berhubungan.
Dulu Naren sangat membenci Jinan yang selalu melarangnya banyak hal dengan alasan apapun, ia juga sebal pada Haksa yang selalu menjahilinya, apalagi pada Mas Re yang selalu marah-marah pada hal-hal kecil, Naren sudah benar-benar lelah.
Namun ketika pagi ini ia memandang keadaan rumah yang begitu sunyi dari anak tangga paling atas, hatinya berdenyut nyeri. Satu persatu kenangan manis bermunculan, kemudian bergantian dengan badai yang malam itu melanda seisi rumah. Tawa-tawa bahagia Haksa yang berhasil menjahili bang Jian terganti dengan raungan tangis dirinya sendiri ketika masih kecil, juga bagaimana perdebatan mama dan papa yang semakin lantang.
Malam itu Naren masih terlalu kecil, ia hanya bisa menangis sama keras dengan suara-suara mama dan papa yang bertengkar. Di sampingnya pula, Haksa melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Anak itu menangis begitu hebat, dengan seluruh wajah yang memerah padam.
Saat ini Naren mungkin sudah dewasa, sudah bisa melakukan apapun yang ingin dirinya lakukan. Ia bisa saja berusaha untuk membuat semuanya kembali seperti dulu, namun keadaan membuat dirinya tidak berdaya. Sebab ketiga saudaranya yang lain seperti enggan untuk memutar waktu. Kini mereka hanya sibuk dengan dunia mereka sendiri, melupakan Naren dan juga rumah mereka.
Naren terkekeh sinis. Apa sebenarnya yang masih hatinya harapkan dari semua kekacauan ini? Rumah mereka sudah sejak lama hancur. Mama, salah satu pondasinya bahkan telah pergi ketempat paling jauh, yang tidak akan pernah bisa Naren datangi. Sedangkan papa, pria paruh baya itu semakin sibuk dengan dunianya sendiri setelah membawa banyak kekacauan dalam hidup keluarganya.
"Udah gila.." Naren berujar tidak jelas. Langkahnya kembali ia bawa menuju titian tangga satu demi satu. Dalam keheningan itu, suara langkah kakinya bergema di seluruh ruangan. Mengusir sepi yang membuat keadaan terasa semakin mencekam.
"Naren, udah siap? Sini dulu, ayo sarapan."
Naren kira, tidak ada siapapun lagi pada pukul 6 lebih 45 menit ini. Namun keberadaan Melvin dengan penampilan mengenaskan seperti kemarin seolah mematahkan persepsinya tersebut. Entah apa yang anak itu pikirkan, ia bertindak seolah semua baik-baik saja di antara mereka setelah pertengkaran hebat kemarin. Padahal sampai sekarang, Naren masih bisa merasakan amarah itu yang begitu sangat besar.
"Na, tunggu.." suara Melvin kembali terdengar. Pemuda itu berlari mendekat pada Naren, tersenyum tipis dengan sudut-sudut bibir yang memar dan robek. "Lusa kamu ulang tahun, Na.. kamu mau apa dari kakak?"
Manusia memang terlahir dengan bermacam-macam sifat dan karakter, namun sedikit pun Naren tidak menyangka akan di pertemukan dengan seseorang yang seperti Melvin. Sosoknya tidak tahu malu, keras kepala, juga selalu bertindak semaunya saja. Melvin juga termasuk orang yang gigih, tidak mudah menyerah pada hal-hal yang ia perjuangkan. Dan hal itu pula, yang membuat Naren jengkel bukan main.
"Gue lagi gak mau debat, Vin.." Naren membalas pelan. Ia lelah bukan main, seluruh energinya seolah tersedot habis oleh sosok Melviano yang sedang menatapnya lekat-lekat.
Melvin menggeleng pelan. "Gak ada yang ngajakin kamu debat, Na. Kakak cuma mau nanya apa yang kamu mau buat kado ulangtahun kamu lusa?"
"Justru karena itu, Melvin," Naren bergumam. "Gue gak mau apapun dari orang kayak lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
The 7th Of Us
Teen FictionDarah memang selalu lebih kental dari pada air, namun tidak menutup kemungkinan jika tidak semua persaudaraan memiliki cukup cinta dan kasih sayang. Narendra hanya memiliki kebencian untuk keluarganya, terutama kakak tertuanya yang bernama Melviano...