15

709 67 10
                                    

part 15 yang asli, yang siang tadi kesalahan teknis ☺

|||

~Manusia mudah sekali untuk tersesat, salah paham sampai akhirnya berujung fitnah.~

.

Desau angin membuat dedaunan bergoyang, bergemerisik cukup nyaring di tengah kesunyian malam yang mencekam. Basah sisa hujan dan dingin yang menyatu padu, menjadikan malam itu terasa lebih kelabu. Sendu bernuansa rindu.

Dengan langkah yang sempoyongan, Haksa berjalan di tengah kegelapan malam. Di temani nyanyian hewan malam, dengan kaki yang begitu berat melangkah seolah belenggu, membuatnya tertanam di sana.

Pulang selalu menjadi hal menakutkan sejak hari itu. Pulang tidak pernah lagi terasa menyenangkan seperti ketika keluarganya masih utuh. Tidak lagi membuat Haksa bersemangat untuk segera tiba dan membuat kejahilan pada saudara-saudaranya, termasuk pada mama dan papa.

'Pulang' selain menjadi ketakutan paling besar, kini menjadi kata mati tanpa makna. Sebuah kata yang hanya merupakan kiasan tanpa arti. Sebab mau berulang kali raganya pulang kali ini, Haksa tidak pernah lagi merasa benar-benar 'pulang'. Kedatangannya tidak pernah disambut dengan meriah, tidak ada yang memeluknya begitu hangat dan tidak ada lagi yang menyajikan ayam goreng serei serta sambal terasi kesukaannya.

"Sialan!" Haksa mendesis kencang merasakan lelehan air mata yang menuruni pipi. Alkohol dan hujan memang perpaduan yang berbahaya. Selain membuatnya tenang, keduanya juga kerap kali membawa kenangan yang selalu mati-matian Haksa lupakan.

Setelah berpamitan pada Hardi yang tidak sadarkan diri karena Alkohol, Haksa memutuskan untuk berkelana kemana saja. Berisik isi kepala membuatnya enggan untuk kembali ke rumah. Ia lebih berkenan merasakan dingin malam dan sisa hujan yang tertinggal. Berjalan tanpa arah dan tujuan, kebiasaan yang selalu Haksa lakukan ketika ingin merasakan sebuah kebebasan. Tidak ada yang mengaturnya di saat seperti ini, tidak ada yang mengharuskannya untuk bersikap dewasa, ataupun berpura-pura kuat dan tangguh.

Di tengah antah-berantah yang sunyi dan gelap, Haksa merasa bisa menjadi dirinya sendiri. Ia bisa menjadi Haksa yang cengeng, yang selalu menangis ketika Mas Re dan Bang Jian tidak mengajaknya bermain. Menjadi Haksa yang mudah jengkel, sebab mama lebih memilih menjemput Naren dari pada dirinya. Menjadi Haksa yang selalu cemberut saat papa lupa pada janji untuk mengajaknya bermain. Menjadi sosok kakak yang pencemburu ketika seluruh perhatian yang diinginkannya justru tercurah pada sang adik.

Di saat seperti itu, Haksa ingat, Mas Re yang selalu mengalah untuk dirinya. Ia ingat, meski kesabaran kakak pertamanya itu sekecil tubuhnya sendiri, tetapi justru Mas Re-lah yang paling sabar menghadapi dirinya yang sedang mengambek. Dengan Mas Re, Haksa selalu merasa menjadi adik yang sangat disayangi, menjadi anak kecil yang sewajarnya usia mereka.

Haksa terkekeh pedih. Seluruh tenaganya habis untuk mengenang masa lalu, sampai ia sendiri limbung menuju jalanan becek sisa hujan. Seluruh pakaiannya habis basah, dan Haksa tidak peduli sama sekali. Anak itu memilih bangkit dengan sekuat tenaga, mengerahkan sisa kesadarannya, sebelum ia membeku mendapati kilau cahaya putih menyinari seluruh tubuhnya.

Tidak ada banyak waktu yang Haksa miliki setelah menyadari kedatangan sebuah kendaraan roda empat muncul dari persimpangan, hanya ada tiga detik, sebelum tubuhnya terpelanting melewati bagian atas mobil dan terjatuh tepat di belakang roda belakangnya.

Mobil yang tengah melaju dengan kecepatan tinggi itu berdecit begitu nyaring, berhenti mendadak setelah bumper miliknya menabrak pohon palem di pinggir jalan.

The 7th Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang