I'M BACK!
.
~akhir dari seluruh pertikaian~
.
Langit berubah kelabu ketika Naren merasa seluruh dunia menjadi hampa. Ruang besar dengan keheningan yang pekat itu terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Tidak ada jejak kehidupan yang mampu memberi kehangatan. Seluruhnya benar-benar kosong.
Sudah hampir satu tahun berlalu, tetapi kekosongan yang dirasakannya malah semakin dalam. Naren pikir, setelah kepergian Melvin dan kedua adiknya, rumah akan kembali seperti semula. Apalagi bang Jian dan Mas Re sudah memutuskan kembali ke rumah sejak kepergian para benalu itu.
Sayangnya, semua tidak berjalan seperti yang Naren pikirkan. Mereka masih terjebak pada rasa sakit yang belum usai, masih ada begitu banyak jarak yang membuat mereka tidak bisa kembali seperti dulu. Hingga akhirnya, rumah tetap terasa kosong seperti 10 tahun ke belakang.
Hari-hari yang Naren lewati tidak ada yang berubah sedikit pun. Rasa sepi masih senantiasa menemaninya di setiap waktu yang terlewatkan. Ditambah lagi, kali ini, Haksa tidak ada di rumah. Pemuda itu berakhir menginap di rumah sakit sebagai pasien dengan gangguan kesehatan mental selama hampir satu tahun belakangan.
"Mau kemana?"
Pertanyaan papa membuat Naren berhenti tepat di ambang pintu. Sejak memutuskan untuk pensiun dan menyerahkan tanggung jawab secara paksa pada Mas Re dan bang Jian, papa menjadi lebih sering berada di rumah, dan karena itu pula, Naren merasa tidak betah. Sakit hati yang pernah papa torehkan membuat Naren membangun antipati tinggi terhadap keberadaan beliau.
"Keluar." Sahut Naren, singkat.
"Na..." Wajah papa terlihat memelas seketika. "Jangan kemana-mana, ya? Temenin papa di sini."
Rumah besar itu sangat sepi dan kehadiran papa hanya menambah rasa sepi yang Naren rasakan. Raga papa memang ada di sana, duduk diam memandang ke arahnya dengan tatapan hampa. Bagi pengusaha kaya yang mampu mengangkat derajat keluarganya tinggi-tinggi, papa yang sekarang terlihat tidak memiliki gairah hidup. Beliau seakan-akan pohon tua yang bertahan hidup hanya untuk menanti ajal.
Dengan kondisi seperti itu pula, Neren tidak betah berada di rumah. Papa tidak pernah memanfaatkan waktu untuk meminta maaf pada anak-anaknya, apalagi memperbaiki keadaan mereka. Beliau hanya sibuk meratapi kesedihannya setelah ditinggal anak kesayangannya.
"Nana..." Lirih papa. Sebab tanpa mengatakan apapun, Naren memilih pergi.
Naren tidak merasa memiliki kewajiban untuk memenuhi ekspektasi apapun dari papa. Kehadiran beliau sekarang pun tidak mengubah apapun dalam hidup Naren. Baik itu 10 tahun yang lalu, ataupun saat ini.
Ketika angin sore berhembus menerpa dedaunan hingga bergoyang tak tentu arah, Naren memutuskan untuk keluar rumah. Membiarkan kaki panjangnya berjalan tidak tentu arah, dengan harapan mendapatkan sedikit ketenangan yang mampu membasuh hatinya.
Jalan hidup yang Naren hadapi cukup terjal, banyak lubang yang membuat langkah kakinya terhambat. Sebab itu, Naren memutuskan untuk menepi. Rasa sakit hati dan kecewanya pada papa tidak bisa hilang hanya karena beliau yang bersedia berbicara baik-baik dengannya.
Langkah kaki itu ternyata membawa Naren menuju tempat yang sama setiap hilang arah, ia selalu berakhir di sana dengan kerinduan yang membuncah.
"Ma, apa kabar?" Naren berbisik disamping pusara yang 11 tahun ini tidak pernah absen ia datangi.

KAMU SEDANG MEMBACA
The 7th Of Us
Novela JuvenilDarah memang selalu lebih kental dari pada air, namun tidak menutup kemungkinan jika tidak semua persaudaraan memiliki cukup cinta dan kasih sayang. Narendra hanya memiliki kebencian untuk keluarganya, terutama kakak tertuanya yang bernama Melviano...