3

929 89 3
                                    

~Banyak waktu yang telah berlalu, tapi bisakah kita kembali seperti dulu?~

.

******

.

Haksa Arshaka Wirawan, kakak ketiga Naren yang hanya berjarak usia satu tahun. Sosoknya sangat ceria, menyenangkan dan hiperaktif. Orang-orang sangat suka berada di sampingnya, sebab selain baik hati, Haksa juga berkepribadian hangat. Haksa sangat pandai membangun suasana, ia bisa membuat orang lain melekat padanya karena merasa terikat oleh senyuman hangatnya yang indah.

9 tahun lalu, Naren harus kehilangan sosok itu. Sosok Haksa perlahan hilang dari setiap kepingan memorinya. Anak itu menjadi sangat pendiam dan asing. Ia tidak lagi jahil seperti biasa, tidak pernah lagi tersenyum seperti orang bodoh, sosoknya seolah telah mati. Haksa selalu tampak beku dan dingin, selalu memberi benteng besar agar orang lain tidak lagi mendekat. Naren bahkan merasa segan untuk mendekat. Saat-saat itu, Haksa terlihat menyeramkan dengan tatapan rembulan-nya yang begitu gelap.

"Pelan-pelan, Njir, sakit." Sudah puluhan kali Naren merengek, namun Haksa tampak membeku seperti badai salju. Mulut kakanya itu tertutup rapat dan matanya menatap lurus pada memar di pipinya yang mulai membiru. "Sa, kenapa diem aja? Haksa!"

Naren tidak pernah senang melihat sosok Haksa yang bisu. Anak cerewet itu biasanya akan berbicara panjang lebar sampai mulutnya berbusa. Jika dulu Naren tidak menyukainya karena terlalu berisik, sembilan tahun terakhir ia benar-benar merindukan ocehan kakaknya itu setengah mati.

"Haksa--"

"Haksa Haksa, Abang!" Satu sentilan mendarat di kening Naren, Haksa yang baru saja menyelesaikan tugasnya mengompres lebam-lebam di wajah Naren adalah pelakunya.

Naren terkekeh. "Biasanya juga gitu dan lo gak keberatan."

"Ck, nyesel gue sempet terharu denger lo manggil abang." Haksa mendengus keras-keras sebagai pelampiasan kekesalannya. Anak itu terlihat cemberut dengan mulut yang mengerucut. Naren memang lebih muda, tapi jarak usia yang terlalu dekat membuatnya enggan menggunakan sebutan semacam itu. Kakak, Abang, Aa, atau apapun. Bagi Naren, Haksa justru terlihat sebagai adiknya.

Haksa yang Naren kenal memiliki kepribadian yang bebas, ia seolah memiliki dunianya sendiri dalam bertindak. Terkadang sikapnya semanis lelehan cokelat dan madu, tetapi tidak jarang bertingkah layaknya lemon, asam dan mengganggu. Suara anak itu juga sangat lantang, satu rumah bisa saja terbangun saat ia menangis. Di banding Naren sendiri, Haksa lebih sering manja pada orang orang di rumah.

"Ngapain senyam senyum gitu?" Haksa sewot. Wajah Naren yang tampak membiru begitu kontras dengan senyum di bibirnya yang sangat lebar. Haksa bahkan ketakutan jika bibir adiknya sampai robek tersenyum sejenaknya.

Naren menggeleng. "Gak kenapa-napa, pengen aja." Mau di jelaskan bagaimana pun, sepertinya Haksa tidak akan mengerti. Lagipula Naren tidak ingin cerita menyedihkan menodai hari terbaiknya saat ini. "Makasih, Sa. Gue seneng banget lo mau peduli."

"Naren." Ujar Haksa tiba-tiba. Suasana di dalam kamar itu menjadi kelabu saat Naren dapat menemukan mata madu Haksa yang di penuhi awan gelap.

"Hm?"

Terlihat Haksa menghembuskan napas panjang. Ada keraguan di mata gelapnya yang mendung. Padahal Haksa yang Naren kenal dahulu tidak akan pernah menampilkan raut wajah seperti itu. Naren mendesah. Dadanya mendadak sesak di penuhi hal-hal yang melelahkan. Seberapa banyak luka itu menyakiti Haksa, sampai-sampai sosoknya berubah total dan asing?

"Nana.." Haksa kembali berbisik. Kali ini, senyum tipis terukir di bibirnya yang merah berisi. "Sorry, gak seharusnya gue lupain lo."

"Sa--" Naren tercekat. Seluruh fungsi saraf dalam tubuhnya membeku saat melihat Haksa terisak di hadapan.

The 7th Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang