9

666 66 0
                                    


Hati-hati typo bertebaran 🫣

.


Entah sudah ke berapa kali suara tawa Melvin menggelar sejak siang menginjak dan petang menyambut. Banyak waktu telah berlalu, namun di sela-sela waktu yang luang, ia akan kembali mentertawakan hal yang sama. Bayangan bagaimana sosok Jiandra terjatuh di atas lantai dengan nelangsa dan kedua adiknya yang merasa bersalah setengah mati, mampu mengocok perut Melvin lagi dan lagi.

"Lo gak cape ketawa mulu?" Tanya Jian, yang pada akhirnya merasa jengah. Malam sudah hampir menginjak dini hari, tapi Melvin masih kehabisan cara untuk mengenyahkan tawa itu dari belah bibirnya. Dia terkadang tiba-tiba tertawa tanpa alasan yang jelas.

Melvin menggelengkan kepala beberapa kali dan berdeham pelan setelahnya. Membayangkan bagaimana wajah memelas Jian membuat sudut-sudut bibirnya kembali berkedut. "Sorry.."

"Ck, udahlah, mending gue balik." Jian berdecak kesal. Namun, alih-alih beranjak seperti perkataannya, anak itu malah merebahkan tubuh besarnya di sofa yang tersedia.

"Katanya mau balik?" Bahkan Melvin merasa heran saat melihat tingkah dan ucapan anak itu yang tidak sinkron sama sekali.

"Bentaran, deh. Nunggu papa balik dulu ke sini, baru gue cabut."

"Kalau mau pergi, pergi aja, Ji. Gue udah gak apa-apa, kok, gak perlu di tungguin 24 jam. Lagian ada dokter jaga juga di luar." Melvin tidak bermaksud mengusir Jian, ia hanya merasa sungkan sebab tiba-tiba mendapati perubahan baik atas sikap Jian terhadapnya.

Jian sendiri tetap membisu. Anak itu hanya memandang ke arah langit-langit kamar rawat dengan deru napas teratur. Melvin sampai mengira jika Jian sudah jatuh tertidur, namun saat di lihat, mata anak itu masih terbuka lebar.

"Jian.."

"Vin?"

Keduanya berujar bersamaan, seolah memang telah sepakat untuk menyebutkan nama satu sama lain di hitungan tertentu.

Melvin terkekeh. "Lo duluan aja." Katanya, mempersilahkan Jian untuk mengambil kesempatan pertama berbicara. Lagipula, Jarang-jarang sekali adiknya itu ingin berbicara seperti ini.

"Lo duluan aja." Tolak Jian.

"Gue bisa nanti, Ji. Mending lo duluan aja." Melvin bersikeras.

Jian tidak pernah merasa sungkan untuk berbicara dengan siapapun. Tetapi di hadapan Melvin, ia menelan begitu banyak ragu untuk berbicara. Sesuatu seolah tengah mendekap pita suaranya dengan erat, sampai pada akhirnya, Jian tidak sanggup untuk mengucapkan sepatah kata pun. Yang ia bisa lakukan pada akhirnya hanyalah berdiam diri dengan pandangan kosong.

"Jiandra..." Suara Melvin memecah keheningan alih-alih suara Jian. Lelaki pemilik alis camar itu melihat sosok sang adik yang masih betah berbaring di sofa, dengan pandangan rumit. Ada banyak tanya untuk jian, tentang perubahan sikapnya, tentang maaf yang sudah di dapat Melvin atau tidak.

Sayangnya, Melvin tidak ingin merusak kesempatan baik berdua bersama Jian seperti ini menjadi kacau balau. Ia takut jika membahas hal yang sensitif, hanya akan membuat Jiandra kembali menarik diri.

"Gue capek, Vin." Jian akhirnya buka suara. "Keadaan keluarga kita saat ini bener-bener bikin gue gak bisa ngapa-ngapain lagi. Banyak hal yang udah di luar kendali gue, dan semua itu bikin kepala gue penuh."

"Ji--"

"Gue gak butuh maaf lo, Vin, kalau itu yang mau lo bilang." Potong Jian. Senyum tipisnya mengembang kala pandangan mereka saling bertemu. Jian titipkan resah di hatinya pada sosok Melvin yang tengah bersandar di kepala ranjang. "Berhenti minta maaf buat sesuatu yang gak pernah lo lakuin. Semua yang terjadi di keluarga kita itu bukan salah lo, Vin. Sejak awal, lo juga korban dari semua kisah rumit antara orang-orang dewasa itu."

The 7th Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang