.
"Pa, ampun, sakit.." rintihan itu terdengar begitu lemah di antara deru napas yang memburu.
Narendra telah tumbang di hadapan sang papa yang di kuasai api amarah. Beberapa bagian tubuh Naren memar, sudut bibirnya tidak lepas dari lelehan darah segar. Arjun Wirawan seperti orang kesetanan saat memukuli darah dagingnya sendiri.
"Kamu pantas dapat pelajaran, Na." Ujar Arjun tanpa belas kasih sedikit pun. Tatapan tajamnya begitu menusuk hati Naren yang mati-matian mempertahankan kesadaran.
"Bukan aku, Pa, bukan aku pelakunya." Berulang kali Naren mengatakan itu, namun sekalipun papa enggan untuk percaya. Di banding luka-luka yang berada di tubuhnya, ketidakpercayaan papa itulah yang justru menyakiti Naren lebih banyak.
Entah seperti apa penilaian papa pada Naren selama ini. Mungkin saja bagi papa, Naren adalah anak bermasalah yang selalu berbuat onar, anak pembicara besar yang suka sekali berbohong. Padahal demi Tuhan, kali ini Naren berbicara jujur.
Naren memang membenci Melvin, dia juga sempat meminta pemuda itu untuk mati, namun tidak pernah terpikirkan sekalipun jika dirinya harus menjadi seorang pembunuh. Naren merasa ia tidak perlu mengotori tangannya sendiri demi mewujudkan hal itu.
"Dengar, Naren." Ujar papa dengan sisa kemarahan yang masih dapat Naren rasakan. "Kamu boleh membenci Melvin sebanyak yang kamu mau, tapi jangan pernah melukai dia. Bagaimana pun, dia anak papa, dia kakak kamu."
Bolehkah Naren tertawa saat ini? Tidak boleh menyakiti, katanya. Namun pada kenyataannya, saat ini papa juga menyakiti Naren demi anak haram itu. Demi anak yang tidak jelas itu, papa tega memukuli diri Naren hingga babak belur.
"Papa benci sama aku?" Bisik Naren.
Arjun Wirawan mengernyit mendengar pertanyaan itu. "Apa maksud kamu?" Ia balik bertanya.
"Papa juga boleh benci sama aku, tapi jangan pernah nyakitin aku, Pa, karena aku emang berhak buat ngelakuin itu." Naren berusaha bangkit dengan tenaganya yang tersisa. "Kemarin aku emang lepas kendali sampai mukulin anak kesayangan papa itu, tapi, bukan berarti aku suka mukul orang sembarangan, Pa. Aku punya alasan yang kuat kenapa kemarin sampai ngelampisin kemarahan aku sama dia."
Keputusan papa menyerahkan hotel milik mama pada Melvin jelas bukan sesuatu yang bisa Naren terima. Hotel itu memiliki banyak sekali kenangan tentang mama, tentang masa kecilnya yang bahagia. Naren hanya tidak ingin orang asing merebut semua kebahagiaan itu seenaknya. Hanya hotel itu yang Naren miliki untuk mengingat keluarganya yang begitu hangat.
"Dan kamu mukulin Melvin cuma karena, dia papa kasih tanggung jawab mengurus hotel?"
"Cuma papa bilang?" Naren menatap nyalang. Kesabarannya perlahan habis menghadapi keras kepala papa yang tidak pernah ada habisnya. "Pa! Itu punya mama, gak ada yang boleh ngusik apapun milik mama."
Arjun tertawa sumbang. "Kamu pikir hotel itu berjalan sampai sekarang gimana caranya, Naren? Kita butuh seseorang untuk bertanggung jawab dan mengambil alih, lalu kebetulan kakak kamu itu memang mampu. Jadi apa yang salah?"
"Salahnya karena dia lahir dari wanita simpanan papa, karena dia udah jadi perusak kebahagiaan keluarga aku. Sejak awal, keberadaan anak sialan itu aja udah salah, Pa!!"
"Narendra!!"
Naren hanya bisa menahan napas saat satu tamparan keras mendarat lagi di pipi kanannya, menghadirkan rasa panas dan perih yang menjalar sampai ke mata. Rasa sakit itu bukan hanya melukai sudut bibirnya, tetapi juga meremukkan hatinya yang hanya tinggal kepingan berbentuk abstrak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The 7th Of Us
Ficção AdolescenteDarah memang selalu lebih kental dari pada air, namun tidak menutup kemungkinan jika tidak semua persaudaraan memiliki cukup cinta dan kasih sayang. Narendra hanya memiliki kebencian untuk keluarganya, terutama kakak tertuanya yang bernama Melviano...