Bintang berbinar sepanjang langit malam ketika Jian memutuskan untuk keluar dari bangunan rumah sakit. Di atas kegelapan yang merajalela, rembulan menduduki tahta paling tinggi. Terang cahayanya menemani jutaan bintang yang berpijar. Indah terlihat. Keindahan yang Jian harap bisa menyerap sedikit kemelut yang ia rasakan.Banyak hal yang telah terjadi selama akhir-akhir ini. Pengkhianatan, pertengkaran, hingga kematian. Tidak ada yang membuat Jian senang tentu saja. Semua itu hanya meninggalkan kemarahan dan kebencian yang berlanjut.
Namun, sampai kapan? Sampai batas mana kemarahan dan kebencian itu harus ada?
Sejujurnya, Jian telah lama merasa lelah. Benci di dalam dirinya, kemarahan yang begitu besar itu, hanya membuat semuanya tidak terkendali. Karena perasaan yang tidak ada habisnya tersebut, keluarganya semakin berantakan, adik-adiknya semakin terasa jauh dari jangkauan, dan tidak ada satu pun kebahagiaan yang tersisa.
Jiandra percaya pada takdir yang Tuhan berikan. Kesulitan selalu membawa kemudahan, kepedihan selalu membawa kebahagiaan. Namun, kesabaran seperti apa yang harus ia miliki untuk sampai pada tahap itu? Kapan kemudahan tersebut ia dapatkan? Kapan kebahagiaan itu dirinya miliki?
Hanya hela napas panjang yang kini bisa Jian berikan. Semua tanya itu jelas belum memiliki jawaban. Kepalanya telah lama buntu, tidak ada jalan keluar dari semua kekhawatiran yang mendera jiwanya. Ia hanya terus berjalan, menyusuri lorong rumah sakit sampai ke taman belakang yang sepi. Di sana hanya ada pepohonan dan bunga-bunga yang bergoyang di bawah sinar rembulan.
Senyum tipis terbit di wajah Jian setelah seharian otot-otot wajahnya mengendur. Pemandangan malam nan indah, dingin yang menyejukkan setelah badai. Ia merasa tenang hanya dengan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.
Saat itu, tepat ketika angin berhembus sedikit lebih kencang, entah salah atau hanya halusinasinya, Jian mendengar sesuatu yang janggal. Bukan hanya gemericik dedaunan yang telinganya dengar, tetapi juga rintihan dan isak tangis yang begitu pilu. Sekali. Dua kali. Suara itu memang samar, tapi Jian mendengarnya terus-menerus sampai ia yakin jika telinganya memang tidak salah mendengar.
Siapa yang menangis di tengah malam seperti ini?
Jian bukan seorang penakut seperti Haksa. Baginya, hantu tidak pernah ada. Jadi, dengan berbekal rasa penasaran yang begitu besar, Jian mendekat ke sumber suara. Berjalan perlahan di bawah sinar bulan yang remang, memindai sekitar dengan mata tajam yang menyipit.
"Papa?" Jian berbisik di samping pohon bunga Tabebuya yang bermekaran.
Di hadapan kegelapan yang lebih pekat menelan kehidupan di bumi, sosok familiar itu duduk di sebuah bangku taman paling ujung. Kedua bahunya bergerak naik turun, sementara isak tangis semakin jelas Jian dengar. Jian tidak bisa melihat wajah papa sebab bangku itu memunggungi arah kedatangannya, namun demi Tuhan, itu benar-benar papa. Dari punggung dan setelan jas yang dikenakannya, Jian dapat mengenali sosok itu.
"Papa nangis?" Jian kembali berbisik.
Suara-suara hewan malam memang terdengar cukup berisik, tetapi tangis papa dan racauan tidak karuannya menyergap indera pendengaran Jian dengan begitu jelas.
"Maaf, maafin saya, Karin.." itu mama, Jian tersentak mendengar nama ibunya di antara gumaman tidak jelas itu. "Saya lagi-lagi nyakitin anak-anak. Saya khilaf, saya benar-benar tidak bermaksud menyakiti anak kita..."
Angin malam kembali berhembus begitu kencang saat papa terdiam sedikit lebih lama. Suara tangisnya kembali terdengar paling pilu di antara dingin udara malam yang memeluk raga. Jian menggigil merasakan itu semua. Kesedihan papa membuatnya merasakan dua kali lipat kebekuan melanda dirinya. Tubuh Jian bukan hanya menggigil, namun remuk karena rasa sakit yang menghantam dari dalam.

KAMU SEDANG MEMBACA
The 7th Of Us
Fiksi RemajaDarah memang selalu lebih kental dari pada air, namun tidak menutup kemungkinan jika tidak semua persaudaraan memiliki cukup cinta dan kasih sayang. Narendra hanya memiliki kebencian untuk keluarganya, terutama kakak tertuanya yang bernama Melviano...