~Tidak ada yang ingin mati dengan cara menghabisi dirinya sendiri. Orang-orang seperti mereka justru adalah orang yang memiliki ketakutan paling besar terhadap kematian.~.
Hujan kembali mengguyur Jakarta pada pagi yang cukup dingin itu. Rintik-rintik gerimis datang bersama kilat-kilat yang saling menyambar. Kemudian, angin berhembus begitu ribut bagaikan genderang perang yang sedang di tabuh. Badai benar-benar terjadi di luar sana, namun di atas ranjang bernuansa monokrom, Haksa tertidur dengan tenang.
Keributan yang memekakkan telinga dari luar seolah tidak mengusik sedikitpun anak itu. Ia begitu lelap dalam balutan selimut hangat yang menutupi hampir seluruh tubuh. Sedangkan, sosok Jian berada di sudut lain kamar memperhatikan Haksa dengan keramaian isi kepalanya sendiri.
Setelah mendengar cerita Hardi, Jian merasa kesulitan untuk berpikir jernih. Ia bahkan tidak bisa merasa tenang setelah mengetahui semua hal yang terjadi pada adik pertamanya. Jian seolah di paksa untuk memperhatikan Haksa lebih intens, tidak membiarkan sedetik pun perhatiannya teralihkan. Sebab jika sekejap saja ia lengah, Jian merasa mungkin kejadian buruk akan menimpa adiknya itu.
Sebenarnya, Jian ingin menanyakan banyak hal lagi pada Hardi sebelum mengantar anak itu pulang semalam, hanya saja, mengingat keadaan dirinya sendiri yang terguncang, Jian merasa tidak akan sanggup untuk mendengar lebih banyak. Fakta bahwa Haksa telah beberapa kali berusaha menyakiti dirinya sendiri membuat Jian hancur.
Jian tidak bisa menyalahkan Haksa atas perbuatan buruknya itu. Ia juga tidak bisa menyalahkan siapapun dalam kasus yang membuat keadaan mereka menjadi seperti ini. Takdir telah membuat keputusan dan mereka sudah terlanjur terjebak di sana untuk waktu yang cukup lama. Tidak ada gunanya menyesali apapun sekarang. Nasi telah menjadi bubur, dan Jian tidak tahu harus menyalahkan siapa untuk hal itu.
"Shh, Shit! sakit banget..."
Dalam keheningan yang mencekam, Jian mendengar suara lain dari rinai hujan dan guntur. Ringisan dan erangan terdengar paling jelas saat itu. Tubuh yang terkulai di atas ranjang pun ikut bergerak tidak nyaman setelahnya. Jian ingin mendekat, ingin membantu Haksa yang lagi-lagi meringis memegangi kepalanya yang mungkin saja berdenyut nyeri. Akan tetapi, kakinya mendadak beku. Seluruh raga Jian kaku saat mendapati tatapan Haksa yang menemukan pandangannya.
"Bang Jian." Haksa tersentak kaget, meski hanya sebentar, sebab setelahnya ia melarikan diri ke kamar mandi dan berakhir memuntahkan isi perutnya.
Jian mendesah panjang. Segera melangkah perlahan mendekati pintu kamar mandi, sebelum membantu mengusap lembut tengkuk Haksa yang sedang menunduk di atas closet.
Tidak ada yang bersuara di dalam ruangan kecil itu. Keduanya di sibukkan dengan keperluan, juga pikiran dan dunia masing-masing. Mereka seolah sepakat untuk mengisi pagi yang mendung itu dengan kebisuan yang panjang. Sebab, setelah membantu Haksa dengan mual akibat hangover, Jian pergi begitu saja tanpa kata.
Jelas saja, keadaan benar-benar canggung untuk Haksa. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun tatapan Jian sudah cukup untuk menjelaskan semuanya. Sesuatu telah terjadi dan kakaknya mengetahui hal itu.
"Bang Ji..." Seru Haksa, saat Jian mendatangi kembali kamarnya dengan wajah tanpa ekspresi. Pemuda bersurai coklat itu bahkan tidak menggubris seruan Haksa. Ia hanya menatap sekilas, sebelum menyerahkan cangkir yang masih mengepulkan uap. "Bang," cicit Haksa, lagi.
"Hm?" Jian bergumam.
"Bang.. Gue--"
"Di minum." Potong Jian. Kali ini, tatapan matanya begitu lekat pada iris keabu-abuan Haksa. "Itu air madu sama jahe, katanya cukup ampuh buat ngilangin pengar." Ketus Jian.

KAMU SEDANG MEMBACA
The 7th Of Us
Genç KurguDarah memang selalu lebih kental dari pada air, namun tidak menutup kemungkinan jika tidak semua persaudaraan memiliki cukup cinta dan kasih sayang. Narendra hanya memiliki kebencian untuk keluarganya, terutama kakak tertuanya yang bernama Melviano...