29

495 48 7
                                    

I'M BACK!!

.

~Batas kesabaran manusia yang tidak akan pernah bisa diukur dengan apapun.~

.

Malam menyapa lebih awal bersama awan gelap yang siap menumpahkan hujan kapan saja. Mendung hampir terlihat di seluruh langit Jakarta sore itu. Sementara angin dan petir seolah tengah berlomba-lomba menjadi siapa yang paling lantang.

Seperti biasa, rumah besar keluarga Wirawan tampak kosong pada awalnya. Hanya ada raungan suara mesin kopi dan seorang pemuda yang tengah asik menanti minuman kesukaannya dengan musik  yang berdendang. Pemuda dengan surai berwarna coklat tua tampak sesekali berjoget menikmati lagu dan wangi kopinya yang mulai tercium.

Hanya beberapa detik, sebelum gerakan luwes pemuda itu terhenti ketika suara nyaring terdengar dari arah depan. Suara pecahan kaca yang membuat seluruh rumah menggema. Naren-- pemuda itu--kemudian berlari mendekati sumber suara.

"Apa yang lo lakuin?!" Ia berteriak marah mendapati pecahan kaca dari figura besar yang tercecer di lantai. Kedua matanya membola menyaksikan foto keluarganya tergeletak begitu saja di tengah kekacauan.

"Kak Nana..." Suara Arsy terdengar bergetar. Mata sipit anak itu menatap Naren dengan takut. "Aku gak sengaja, Kak." Ia membela diri.

"Gak sengaja?" Naren murka. Baginya, foto itu bukan hanya potret atau benda mati semata. Foto itu adalah segalanya, dimana kenangan bahagia miliknya tersimpan.

Derap langkah kaki Naren menggema di tengah ketakutan yang Arsy rasakan. Pemuda dengan kaus putih itu mendorong Arsy menjauh dengan segenap kemarahan yang tersimpan di hatinya.

"Awsss.." Arsy meringis merasakan tubuhnya jatuh diatas beberapa serpihan kaca. Darah segar perlahan mengalir dari telapak tangannya yang tergores di beberapa bagian.

Sedangkan Naren tampak tidak peduli. Perhatiannya hanya tertuju pada foto keluarganya yang lengkap. Bahkan ia tidak mengetahui jika perbuatannya telah menyakiti Arsy.

"Arsy, kamu kenapa?" Tepat di saat itu, Melvin datang dengan rasa lelah yang tersisa di sekujur tubuhnya. Serpihan kaca dan kekacauan ruang tengah tidak begitu jelas dimatanya, perhatiannya hanya tertuju pada Arsy yang tengah meringis kesakitan berkali-kali. "Tangan kamu berdarah, Dek."

"Perih, Kak." Adu Arsy. Tangannya benar-benar terasa perih dan berdenyut. Apalagi mendapati darah yang sesekali menetes, membuatnya merasa ngeri.

Melvin panik. Ia bergegas mencari tissue untuk membebat pendarahan pada telapak tangan Arsy. Pergi meninggalkan ruang tengah tanpa menyadari kekacauan yang terjadi.

Dalam keadaan perasaan yang tidak karuan, tissue mendadak hilang dari setiap sudut rumah ini. Melvin frustasi mencari benda itu, hingga ia meraih kaus miliknya di kamar sebagai pilihan terakhir.

"Arsy--"

"Udah gue bilang, jangan pernah nyentuh apapun di rumah ini. Apalagi sampai lo rusak!!"

Teriakan Naren mengurungkan niat Melvin untuk mendekat dan keberadaan anak itu membuat Melvin menyadari kekacauan di ruang tengah.

"Maaf, aku gak sengaja, Kak." Cicit Arsy.

Sedangkan Naren tampak semakin kesetanan mendengarnya. "Gak sengaja? Barang sebesar ini gak mungkin tiba-tiba jatuh cuma kesenggol doang, kan?" Napas Naren memburu cepat ditengah amarahnya. "Dan lagi.. Gue bukan kakak lo, berhenti manggil gue kayak gitu, Anak sialan!!"

"Narendra!!" Melvin tidak tahan lagi. Ia mendekat setelah meneriakkan nama adik keempatnya itu dengan suara yang begitu lantang. Arsy dan Naren bahkan terkejut di buatnya. "Jaga omongan kamu, Naren." Desis Melvin. Suaranya bergetar menahan gejolak amarah yang perlahan menguasai dirinya. Sebagai manusia biasa, kesabaran mulai menipis dari dalam diri Melvin.

The 7th Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang