WARNING!
.
Sensitive content!!
Tolong bijak dalam memilih bacaan..
.~Sampai kapan dunia membuatku berjuang seperti ini?~
.Persetan dengan keadaan dan takdir, Haksa hanya ingin hidup tenang. Ia lelah terus terombang-ambing badai yang tidak ada habisnya. Seluruh dunia Haksa telah hancur, tetapi keadaan tidak pernah membiarkannya untuk berhenti. Tidak ada satu pun dari situasi saat ini yang mengijinkannya untuk merasa nyaman.
'Rumah' miliknya telah lama tersapu 'bencana dan ia tidak pernah berdaya di hadapan takdir yang perlahan merampas semua hal dari hidupnya.
Haksa butuh ketenangan, lebih dari apapun.
"Lo baru sembuh, Gila!" Hardi mendesah pasrah melihat temannya menenggak alkohol dengan terburu-buru. Usahanya untuk merebut botol minum di tangan Haksa pun, hanya berakhir sia-sia. "Haksa!"
"Berisik!" sahut Haksa setelah berhasil memindahkan hampir seluruh isi botol kedalam perutnya. Anak itu kepayahan menarik napas, sebelum kembali menenggak botol alkoholnya dalam sekali pergerakan.
Hardi sampai tidak menyadari apa yang temannya itu lakukan. Ia hanya bisa mendesah pasrah untuk kesekian kalinya dan membiarkan Haksa menghabiskan botol keduanya malam ini. "Terserah lo, deh." Hardi pasrah. Lagi pula, tidak sekali dua kali Haksa begini. Anak itu tidak akan berhenti sebelum dia sendiri menginginkannya. Haksa di saat seperti ini akan sangat sulit untuk di kendalikan. Atau mungkin lebih tepatnya, tidak akan pernah bisa.
Seolah ingin menertawakan ketidakmampuan Hardi dalam menengahi kegilaan temannya itu, angin cukup kencang berhembus melalui jendela. Sesuatu yang tak kasat mata itu menyapu seluruh ruangan, dingin menyelimuti suasana hingga Hardi merasa mengigil karenanya.
Sebagai anak yang lahir dari keluarga sederhana, Hardi sama sekali tidak bisa mengerti keadaan yang menimpa keluarga Haksa. Kehidupan temannya itu tidak ada ubahnya seperti sebuah film bagi dirinya, sebuah drama fantasi yang membuat siapapun merasa jengkel. Dunia Haksa terlalu rumit untuk dimengerti akal Hardi yang cetek.
Bahkan sebagai teman yang menemani Haksa selama ini, Hardi masih sering terkejut dan tidak percaya. Ia masih saja menganggap keadaan keluarga kawannya itu sebuah dongeng mengerikan yang tidak seharusnya diperdengarkan pada anak-anak.
"Ck, dibiarin malah makin gila lo!" Hardi merebut paksa botol ketiga yang tengah Haksa tenggak dengan brutal. Namun, seperti tidak peduli pada keberadaan dirinya, Haksa memilih abai dan mengambil botol lain yang berserakan di lantai.
Hardi lagi-lagi hanya bisa mendesah pasrah. Lalu seperti yang sudah-sudah, ia hanya bisa membiarkan kegilaan Haksa semakin menjadi-jadi, sebab lagi-lagi, Hardi tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya mampu menjadi pemerhati yang berada di sisi Haksa, menemani pemuda itu dan memastikan tidak terjadi hal buruk lebih dari yang seharusnya. Hardi hanya tidak ingin, Haksa menyesali sesuatu yang dilakukannya disaat berada dalam pengaruh alkohol.
"Sa, ada apa?" Hardi mulai tidak sabaran menanti. Menunggu Haksa tenang dan mulai mengatakan masalahnya kali ini, ternyata tidak semudah itu. Rasa penasaran dan khawatir membuat Hardi menjadi terburu-buru. Ia tidak ingin Haksa minum terlalu banyak dan malah berakhir memendam semuanya sendiri. "Kali ini, apalagi yang bikin lo kayak gini?"
Apalagi? Haksa terlihat merenung cukup lama. Satu tangannya yang tengah menggenggam botol kosong, mengerat begitu saja, seluruh tenaga seolah terkumpul di sana sampai buku-buku jemarinya berwarna merah pucat.
"Haksa.."
"Gue cuma mau hidup tenang, Di, gue capek." Haksa hanya tidak habis pikir, mengapa takdir begitu senang menimpakan kepahitan dalam hidupnya? "Ketenangan yang gue harepin, gak pernah gue dapetin lagi. Rumah gue terlalu berisik sampai gue ngerasa gak punya lagi tempat buat pulang."

KAMU SEDANG MEMBACA
The 7th Of Us
Ficção AdolescenteDarah memang selalu lebih kental dari pada air, namun tidak menutup kemungkinan jika tidak semua persaudaraan memiliki cukup cinta dan kasih sayang. Narendra hanya memiliki kebencian untuk keluarganya, terutama kakak tertuanya yang bernama Melviano...