Setelah kejadian kemarin, Letta selalu menghindari Xavier. Ia sungguh tak menyangka jika keduanya hampir saja melakukan hal 'itu' untung saja kesadarannya kembali ketika pintu diketuk oleh salah seorang staff perencanaan."Jangan memikirkannya lagi. Kau pasti bisa melewati hari-hari seperti biasanya" semangat Letta pada diri sendiri.
Baru saja berkata, dari arah berlawanan Xavier dengan jas hitam dan sepatu pantofel itu terdengar begitu nyaring, seluruh staff menunduk sebagai hormat ada juga sebagian yang mengucap selamat pagi namun hiraukan oleh sang empu.
mati aku batin Letta, berbalik pergi dari tempatnya segera mungkin.
Lirikan tajam Xavier berikan pada Letta yang tengah berjalan kembali ke pintu utama perusahan tersebut.
menghindari ku, huh? batin Xavier berhenti lalu kembali berjalan masuk kedalam lift.
Merasa jika suasana kembali aman Letta putar balik naik tangga darurat, sebegitu takutnya ia terhadap tatapan maut dari seorang Xavier.
Tidak peduli seberapa pegal kakinya sekarang, yang terpenting dirinya tak bertemu dengan manusia diktator seperti Xavier.
Napasnya memburu. Letta berhenti sejenak sebelum membuka pintu darurat pada lantai lantai 11.
"Aku bisa mati jika seperti ini" gumam Letta, sambil menyeka keringatnya dengan tissue kering.
Pintu dibuka menampilkan rekan kerjanya yang sudah duduk di kursi mereka masing-masing.
Merasa tidak ada yang menyadari kehadirannya melalui pintu darurat, Letta kemudian berjalan mengendap-endap menuju kursinya.
"Akhirnya" merasa lega, segera ia menyalakan komputer dan memulai pekerjaannya.
Dengan serius mengetik dan menggulir kursor dari ata kebawah, ke kanan dan ke kiri. entah kenapa jika ia sedang fokus begini tangannya selalu memainkan sebuah pulpen atau pensil lalu ia ganjal di surainya sebagai ganti dari jepitan.
Waktu menunjukkan jam 12:09, sudah terhitung 3 jam dirinya duduk bergerak diruang lingkup mejanya mengambil dan memeriksa berkas-berkas sebelum dibubuhkan tanda tangan oleh bos mereka.
Air putih pada gelas batu berwarna putih sudah mulai habis, karena diminum olehnya. Entah sudah berapa kali Letta mengisi air pada gelasnya.
"Selesai juga" ujarnya menyandarkan punggungnya pada kursi dan mengecek jam.
Matanya tak salah lihat jika ini sudah di akhir bulan, tidak lama lagi gajian batinnya bersorak riang.
Letta berdiri sembari tersenyum lebar.
Perkara sudah di akhir bulan dan akan mendapatkan gaji membuatnya begitu senang.
"Aku ingin membeli kopi" ujar Letta mengambil dompet serta ponselnya dan turun ke lantai 1.
Dalam perjalanan sesekali ia menyapa ramah pada semua staff yang bekerja disini. Ia tidak ingin dicap sebagai orang yang sombong atau apa segala macam.
Bekerja dengan penuh kedamaian dan ketenteraman juga lingkungan kerja yang sehat itu sudah lebih dari cukup baginya.
Sampai lantai 1 bergegas Letta megantri panjang hanya untuk memesan sebuah kopi.
Entahlah akhir-akhir ini dirinya suka sekali meminum kopi.
"Ingin pesan seperti biasanya?" tanya seorang pemuda.
"Ya" jawab Letta tersenyum.
Menunggu sekitar 3 menit akhirnya pesanannya sudah jadi, tak lupa membayar dan mengucapkan terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Little Princess
Teen Fiction• • • Tentang pertemanan kemudian menjadi sepasang kekasih antara Letta dan Xavier, Xavier si manusia paling cuek dalam segala hal tapi tidak jika itu dengan Tuan Putri Kecil-Nya, Letta.