Bagian 46 | Kepergian sang mamah

128 5 0
                                    

"assalamualaikum wr wb" salam Hanan, melangkah masuk kedalam rumah. Baru pulang dari majelis sebagai guru santri kelas 6 untuk menyetor hapalan Al Qur'an.

"Waalaikumsalam wr wb" balas Abah Umar. Sementara Lala hanya diam, ia masih berpikir bahwa semua ini hanyalah mimpi belaka.

Abah Umar menatap putra nya yang berdiri di ambang pintu dan Lala menatap lurus dengan sorot mata yang kosong dan pikiran kacau.

Hanan menoleh ke sumber suara, ternyata di ruang tamu ada Abah yang sedang duduk bersama salah satu santri putri yang ternyata itu adalah Lala.

Kenapa perempuan itu ada dirumahnya? Dan apa yang sedang diobrolkan antara Abahnya dan perempuan itu?.

Abah Umar menoleh ke Lala "nduk?"

"Iya, Abah Umar" sahut Lala tersadar.

"Kamu tetap di sini, Abah mau bicara dulu sama Fahmi" ucap Abah Umar.

"Iya, Abah Umar" balas Lala.

Kemudian Abah Umar beranjak dari kursi lalu berjalan pelan menghampiri anaknya di ambang pintu. Berdiri menatap anaknya.

"Kebetulan sampean wis teka ing omah, Abah njaluk supaya sampeyan ngosongake wektu kanggo dina iki lan sesuk" (kebetulan kamu sudah pulang, Abah minta kamu luangkan waktu kamu hari ini dan besok" pinta Abah Umar.

"kanthi cara apa sing kedadeyan, Bah?" (Emangnya ada apa, Bah?) tanya Hanan bingung, tidak biasanya Abah meminta dirinya untuk meluangkan waktu. Apakah ada hal penting?.

"Begini, le...." Abah Umar menoleh sekilas ke Lala, begitu pula dengan Hanan.

"Ibune Lala nembe seda, lan Lala kudu langsung bali menyang Jakarta" (ibunya Lala baru saja meninggal dunia dan Lala harus segera pulang ke Jakarta) terang Abah Umar.

"innalillahi wa inna ilaihi rojiun" ucap Hanan spontan, sama halnya dengan Abah Umar yang kaget mendengar berita tersebut.

"Nanging Abah ora bisa ngeterake Lala menyang Jakarta amarga ana urusan, lan bapak ora tega yen Lala mulih dhewekan" (tapi Abah tidak bisa mengantar Lala pulang ke Jakarta karena masih ada urusan dan Abah tidak tega membiarkan Lala pulang sendiri) lanjut Abah Umar. Sore nanti beliau masih ada acara yang harus beliau hadir, tidak enak sudah di undang tapi tida datang. Tapi Abah Umar juga tidak tega membiarkan Lala pulang ke Jakarta sendiri, jarak antara Blitar dan Jakarta tidak dekat. Jadi, Lala harus di antar oleh seseorang untuk pulang ke Jakarta.

"Dadi, Abah ngajak kowe mulih menyang Jakarta. sampeyan bisa, Le?" (Jadi, Abah minta kamu untuk mengantar Lala pulang ke Jakarta. Apakah kamu bisa, ke?) tanya Abah Umar.

"In Sya Allah, Fahmi bisa. Bah" jawab Hanan.

Kebetulan ia juga tidak memliki acara apapun selama beberapa hari ke depan dan untuk masalah ngajar ia bisa minta gantikan kepada salah satu ustadz.

******

Bendera kuning terpampang jelas di depan halaman rumah. Rumah yang begitu ramai dengan orang-orang yang memakai pakaian serab hitam, beberapa orang pergi setelah melayat dan beberapa lagi tinggal untuk membaca surah Yasin.

Sebuah mobil Avanza berwarna abu-abu muda telah tiba di pekarangan rumah, setelah pintu belakang di buka. Lala langsung pergi berlari secepat mungkin masuk kedalam rumah.

Berdiri di ambang pintu, di tengah-tengah ada seseorang yang terbaring. Seluruh tubuhnya ditutupi dengan kain dan kepalanya di tutupi dengan kain berwarna putih "MAMAH" teriaknya histeris.

Semua orang yang ada di ruang tersebut spontan menoleh ke ambang pintu termasuk dua orang pria dewasa yang ada di sebelah jenazah "Lala" ucap papah dan Opah.

Opah dan papah bergeser sedikit, membiarkan Lala duduk di sebelah mamahnya. Dengan mata yang sudah berlinang dan perasaan yang hancur, Lala berusaha untuk mengangkat kain putih di wajah mamahnya. Begitu melihat wajah mamahnya yang pucat dan tak bernyawa membuat air mata Lala langsung turun membasahi kedua pipinya.

"Mamah" pekik Lala sambil memeluk tubuh mamahnya erat. Darahnya mengalir deras, detak jantung nya tidak stabil, matanya merah karena air mata yang terus mengalir.

Seolah-olah dunianya telah hancur melihat mamahnya terbaring di hadapannya tak berdaya.

"Mamah, bangun! Mamah gak boleh ninggalin Syakila. Mah, ayo bangun!" ucap Lala sambil menggoyangkan badan mamahnya, berharap mamahnya masih bergerak dan hidup.

Sang papah yang tidak tega melihat putrinya menangis kejer, sang papah pun mendekat kemudian mengelus lembut punggung Lala "sayang, mamah sudah tenang di alam sana. Jadi, ikhlaskan mamah" ucap sang papah menenangkan putrinya walaupun itu tidak berhasil.

"Gak, mamah masih hidup. Ayo mah, bangun!"

Selain Lala, ada tiga orang lagi yang baru tiba. Mereka masuk kedalam rumah yang sudah ramai sekali. Di tengah sana mereka melihat Lala yang menangis sambil menggoyangkan tubuh mamahnya, tidak dapat mereka bayangkan sehancur dan sepukul apa menjadi Lala. Yang harus kehilangan orang tercinta nya.

Opah melirik ke arah pintu, melihat ada tiga orang yang berdiri. Lantas Opah bangkit berjalan menghampiri mereka bertiga.

"Assalamualaikum" salam Opah berdiri dihadapan mereka bertiga.

Sontak mereka bertiga menoleh ke Opah "waalaikumsalam wr wb" balas Hanan. Sambil mencium punggung tangan Opah.

"Terimakasih, sudah mengantarkan Lala ke Jakarta" ucap Opah kepada pria yang ada di hadapannya.

"Sama-sama, Opah. Kata Abah minta maaf karena tidak bisa takziah langsung, Abah juga menitip salam dan turut belasungkawa" Hanan menyampaikan permintaan maaf dari Abahnya kepada Opah, sekaligus mengucapkan belasungkawa atas kepergian mama Lala.

"Waalaikumsalam" balas Opah.

"Tidak apa-apa, nak?" jeda Opah. Meskipun Opah tau bahwa pria itu adalah anak kyai Umar, tapi Opah lupa siapa namanya.

"Fahmi" jawab Hanan.

"Tidak apa-apa, nak Fahmi. Setidaknya di ada anak kyai Umar yang mewakili nya" ucap Opah. Walaupun kyai Umar tidak bisa hadir setidaknya masih ada anaknya yang datang bertakziah dan mengantar cucunya pulang.

"Oh, yah. Opah, perkenalkan di sebelah saya ada......"

He Is My Gus ( GURUKU SEORANG GUS )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang