Bagian 19 | Sindiran halus 🌴🌲🌴

121 5 0
                                    

Di pagi yang cerah ini, segerombolan anak-anak remaja sedang pergi menuju sebuah perkebunan teh terbesar di kampung ini. Mereka memilih untuk berjalan kaki sekalian hitung-hitung joging mumpung masih berembun dan suasana masih sejuk.

"Masih jauh gak?" tanya Lal. Sudah hampir satu jam jalan dari rumah bi Nur namun mereka berlima belum juga sampai di perkebunan teh.

"Sebentar lagi" jawab Mira.

Meski Lala sudah beberapa Minggu tinggal di Bandung namun ini pertama kalinya bagi Lala untuk pergi ke perkebunan teh sehingga ia tidak jauh dimana tempat perkebunan teh nya.

Dan di sini hanya mereka berlima ada Desi, Mira, Lala, Asep dan Iqbal sementara Bagas tidak ikut.

Dari kejauhan ada seorang laki-laki muda yang sedang berlari pelan. Berhubung ini hari Minggu dan suasana nya juga mendukung jadi laki-laki itu memilih untuk jalan pagi. Sekalian menghirup udara yang segar.

Tepat di dekat pohon pisang, mereka berlima berpapasan dengan laki-laki muda tersebut.

Mereka berenam berhenti.

"Assalamualaikum, pak" salam keempat anak remaja kecuali Lala yang memalingkan wajahnya menghadap pohon pisang.

"Waalaikumsalam" balas Hanan. Matanya terfokus menatap Lala. Kemudian beralih memandang wajah anak muridnya satu persatu.

"Bapak, lagi joging?" tanya Mira.

"Ya, kalian?" jawab Hanan datar dan melemparkan sebuah pertanyaan.

"Kami mau pergi ke rumah Bagas" jawab Desi.

Ya, perkebunan teh itu milik keluarga Bagas. Itulah mengapa Bagas tidak ikut mereka, karena mereka lah yang akan pergi menemui Bagas untuk melihat perkebunan tehnya.

"Kami permisi dulu, pak. Assalamualaikum" salam keempat anak remaja sambil menundukkan kepalanya. Dan Lala masih tetap memperhatikan pohon pisang.

"Pohon pisang yang indah, semoga kamu bisa membuahkan pisang yang enak untuk menyenangi orang-orang nya, bukan malah menyakiti hati orang" pesan Lala namu ia sedikit menyindir kepada seseorang sambil mengelus pohon pisang yang tinggi dan sehat.

Hanan menoleh ke Lala, sudah hampir setengah bulan namun Lala tidak berubah dan masih tetap bersikap dingin. Dan ia tau meskipun Lala sedang berbicara kepada pohon pisang namun ucapan Lala menyindir kepada dirinya.

"Udah, yuk La. Kita pergi" Desi menarik pergelangan tangan Lala untuk pergi.

"La, kenapa kamu ngomong sama pohon pisang? Pohon gak bisa bicara?" tanya Mira menoleh ke Lala yang ada di ujung.

Lala memandang lurus ke depan "lebih baik ngobrol sama pohon meskipun pohon tidak dapat berbicara setidaknya pohon tidak akan menyakiti hati kita, berbeda dengan manusia" sindir Lala secara halus.

Mira yang tidak tau apa maksudnya hanya mengangguk saja "ohhh, gitu"

Hanan menoleh ke belakang melihat punggung kelima anak muridnya sudah pergi. Padahal ia sudah meminta maaf kepada Lala tapi sepertinya perempuan itu sangat sakit hati sampai menyindir seperti itu.

*****

Sudah hampir satu jam setengah mereka menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di sebuah yang terbilang cukup besar namun sederhana. Rumah bertingkat dua, lantai satu terbuat dari tembok berwarna putih polos dan lantai dua terbuat dari kayu jati. Di depan balkon lantai dua ada tanaman kecil yang di gantung dengan beberapa bunga mawar merah, di bagian kedua sisi ada pot kecil dengan bunga mekar. Selain di lantai dua, di lantai satu juga masih ada beberapa pot dengan bunga cantik di setiap depan jendela. Di bawah jendela dekat pintu ada kursi panjang kayu dengan diwarnai cat putih polos. Dan ada tangga kayu di luar bagian sisi kanan.

Mata Lala seketika langsung berbinar binar saat melihat rumah yang besar namun sederhana "wah, rumah sangat indah" walaupun di daerah nya terdapat rumah yang bagus dan besar tapi ini pertama kalinya Lala melihat rumah yang besar tapi juga indah. Apalagi di belakang rumah ada beberapa pohon pinus membuat rumah semakin indah.

"Iya, La. Rumah ini bisa di bilang salah satu rumah terbesar yang ada di kampung ini" terang Mira.

Memang benar, selama Lala tinggal di kampung ini. Lala hanya melihat satu atau dua rumah dengan ukuran besar dan bertingkat.

"Karena keluarga Bagas salah satu orang kaya di kampung ini" imbuh Desi.

Lala menoleh ke Desi "kaya?" beo Lala. Lala tidak mengetahui jika Bagas merupakan anak dari keluarga kaya di kampung ini. Karena dari penampilan Bagas, Bagas seperti anak desa seperti anak-anak pada umumnya.

"La, tadi lagi nyindir orang?" bisik Asep, yang berada di sebelah Lala.

Mendengar pertanyaan Asep, Lala langsung menoleh ke Asep "sindir? Maksud lu?" tanya Lala balik.

Namun bukan di jawab. Alih-alih Asep memanggil nama Bagas yang kebetulan orangnya baru saja keluar dari rumah nya.

"Hai, Bagas!" sapa Asep sambil melampiaskan tangan kepada Bagas yang sedang berjalan menuju ke arah mereka.

*****

Mereka berenam sudah tiba di sebuah perkebunan teh yang cukup luas. Kebun teh ini begitu banyak dan pada segar, ada beberapa ibu-ibu yang sedang memetik pucuk teh.

"Gila, semua ini punya lu?" tanya Lala menoleh ke Bagas. Sangat takjub melihat kebun teh yang sangat luas dan banyak.

"Bukan, punya keluarga" jawab Bagas. Kebun teh ini memang bukan punya milik nya tapi punya bapaknya.

"Sama aja. Gilanya, ini benar-benar sangat luas. Selama gue tinggal di sini gak ada tuh kebun teh seluas ini" ucap Lala.

Memang benar, selama Lala tinggal di sini ia hanya dapat melihat kebun teh yang sepetak atau beberapa petak tidak sebanyak ini.

"Itu karena bapaknya Bagas itu juragan teh, tidak heran jika bapaknya memiliki banyak kebun teh" jelas Iqbal.

"Ohhh, pantesan si Desi bilang kalau Bagas itu kaya. Ternyata memang kaya" balas Lala. Tidak menyangka jika keluarga Bagas sekaya ini.

"Ayuk, saya akan ajak kalian untuk keliling kebun teh" ajak Bagas, berjalan terlebih dahulu memimpin kelima temannya.

"Ayuk, La" ajak antusias Mira.

"Iya" jawab Lala.

Saat mereka hendak pergi masuk ke kebun teh, tiba-tiba Lala mencengkram pergelangan tangan Asep dari belakang. Seketika Asep menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke belakang mendapati Lala menahan tangan nya.

"Naon, La?" (Apa, La?) tanya Asep.

Lala sudah cukup lama untuk tinggal di sini sehingga ia mengerti setiap kata Sunda meskipun hanya perkataan pendek seperti ini.

"Apa maksud lu gue sindir orang? Emangnya gue nyindir siapa?" tanya balik Lala sewot. Sambil menatap wajah Asep dengan tatapan mengintimidasi.

He Is My Gus ( GURUKU SEORANG GUS )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang