"Karena aku juga ingin membuktikan perasaanku padamu."
Awalnya Sena masih mengangguk-ngangguk, setelah mendengar alasan Jayden. Namun, ketika otaknya sudah memahami ucapan Jayden, Sena langsung memelototkan mata. Hanya dalam hitungan detik saja, tubuhnya merinding mendengar ucapan Jayden. "Ini pasti bercanda. Kau pasti sedang menipuku. Ya, ya, orang ini pasti sedang berbohong, atau ingin menjebak Sena."
Sena berusaha untuk tetap tenang, dengan pandangan tak percaya kepada Jayden. Dia tertawa renyah, kemudian berkata, "Bagaimana mungkin, Jayden menyukai penyihir ini? Itu hanya basa-basi saj--"
"Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku," balas Jayden.
Sena masih belum percaya, jadi dia bertanya, "Apa alasanmu menyukai penyihir ini?"
Tak perlu banyak waktu, bagi Jayden menjawab, "Apa menyukai seseorang harus mempunyai alasannya juga? Aku tak tahu alasannya, tapi aku suka pada---"
Seketika juga, Sena berteriak. Matanya berkaca-kaca. Seluruh tubuhnya mendadak bergetar, dengan jantung berdetak kencang. Harusnya Sena tampil tenang, dan menolak Jayden dengan elegan. Namun, Sena tak tahu kenapa tubuhnya terasa sangat panas. Penyihir itu menggelengkan kepala, kemudian memperingati, "Berhenti! Jangan bercanda lagi! Ini tidak lucu!"
"Tapi aku tidak bercanda," balas Jayden.
Sena memundurkan tubuhnya ke belakang, begitu juga dengan kedua penyihir yang terdiam, tanpa berniat ikut campur urusan Sena. Apalagi ketika Sena kembali memperingati, "Kalau pun tidak bercanda, kau tidak boleh menyukaiku! Pokoknya tidak boleh! Tidak boleh!"
Setelah mengatakan hal itu, Sena berbalik panik ke belakang. Dia meninggalkan Jayden yang terdiam, sementara kedua penyihir langsung menyusul Sena. Mereka berkata, "Nona Sena, ada bagusnya jika Anda bersama dengan Pangeran ketiga saja."
"Dibanding harus mendamba cinta pangeran kedua! Anda malah akan makin sakit hati," peringat salah satu penyihir.
Sena menarik dan mengeluarkan napas panjang. Dia mendengkus, kemudian berkata, "Aku tidak mendamba cinta! Aku hanya ingin bebas dari dunia s*alan ini!"
"Astaga! Perasaan gadis ini begitu aneh, aku tak mau merasakan debaran seperti ini lebih lama lagi! Kembalikan adikku!" gerutu Sena.
Sena mengacak-acak rambutnya, dia bergumam, "Aku memang berniat membuat Pangeran Jayden melupakan perasaannya pada Putri Selena, tapi tidak begini juga caranya!"
"Selena bebas, malah aku yang kena?!"
"Bagaimana ini? Aku harus apa? Adikku! Di mana adikku?!" gerutu Sena.
Sena berlari menjauhi Jayden. Dia tak suka berada dalam perasaan seperti ini. Jantungnya masih tetap berdetak kencang, keningnya mengernyit, sementara perutnya mulai terasa sakit. Pada akhirnya, Sena terdiam dengan napas terengah-engah.
Begitu pula dengan kedua penyihir yang membututi Sena. Mereka mengernyitkan kening, lalu bertanya, "Nona Sena? Anda kenapa lagi?"
Sena tahu, jika kedua penyihir bertanya karena mengkhawatirkannya. Sejujurnya, Sena senang karena ada yang peduli dan memperhatikannya seperti ini, meskipun dia adalah seorang penyihir.
Namun, setelah lama kelamaan terdiam, Sena merasakan perutnya melilit. Dia tanpa sadar memegangi perutnya sendiri, kemudian bergumam, "Perutku terasa sakit."
Ucapan Sena membuat para penyihir menepuk bahunya. Sena tersentak, dan salah satu penyihir langsung mendekatinya. Dia menebak, "Sepertinya waktu Anda datang bulan sudah tiba, Nona."
"Mari kita pergi ke kamar mandi, untuk memakai pembalut terlebih dahulu," gumam salah satu penyihir.
Sena langsung merasakan lututnya bergetar. Perutnya melilit, bersamaan dengan wajahnya yang memerah. Lutut Sena jatuh ke lantai, bersamaan dengan matanya yang berkaca-kaca. "Setelah kehilangan adikku, aku bahkan harus menerima fakta jika aku bisa datang bulan juga. Kupikir penyihir tidak datang bulan, terlebih lagi ini hanya permainan semata."
Sena mulai menangis, karena perutnya terasa sakit. Padahal, sepedih apa pun hidupnya dulu, Sean tak pernah ingin terlihat lemah atau bahkan menangis. Namun, perutnya saat ini terasa sakit. Terlebih lagi, ada banyak beban pikiran yang membuat Sena merasa pusing.
Sena bergumam, "Tidak... aku tidak mau. Aku tidak mau! Aku tidak mau!"
Para penyihir menarik dan mengeluarkan napas panjang. Keduanya memegangi satu persatu pergelangan tangan Sena. Mereka berdua menggunakan teleportasi untuk membawa Sena ke kamar mandi. Meskipun Sena meronta-ronta tak mau memakai pembalut khusus untuk penyihir.
•••
Termenung, mengeluh, dan merutuki nasib. Tiga hal ini sudah menjadi kebiasaan Sena. Setelah pulang ke mansion penyihir, Sena merebahkan tubuhnya dengan posisi menelungkup. Dia tak bisa pergi ke mana-mana, karena para penyihir menahan tubuhnya untuk dipijat.
Sebenarnya Sena merasa risi, berada di satu ruangan dengan para wanita yang berstatus sebagai penyihir. Mereka bahkan tak segan-segan memijat tubuh Sena, meskipun Sena berulang kali menolak dan meronta-ronta. Sena baru berhenti meronta, ketika salah satu penyihir mulai menyelidiki sifatnya lagi.
"Sudahlah Nona Sena, diam di sini dan nikmati pijatan saja. Kami semua akan melayani Anda dengan senang hati," jelas salah satu pelayan. Lalu Sena merasakan bulu kuduknya merinding.
Awalnya memang tak nyaman, tetapi lama kelamaan dia mulai terbiasa. Semua canda tawa para penyihir, membuat Sena terpaksa terbiasa. Terlebih lagi, tak ada satu pun penyihir yang berniat menyakiti atau pun menghina dirinya. Semua hanya mencemaskan kondisi Sena. Meskipun terkadang ucapan mereka bisa terlalu kejam.
Salah satu penyihir bertanya,"Nona Sena, kami dengar Anda akan pergi ke sayembara memanah dan berkuda, untuk mendukung Pangeran Ketiga. Apakah itu benar?"
"Apa Anda tidak bermasalah dengan hal itu? Karena Pangeran kedua sudah memutuskan untuk memberikan hadiah kemenangannya nanti pada Putri Selena. Anda---"
Belum sempat para penyihir mengakhiri ucapannya, Sena sudah lebih dulu menjawab, "Aku akan datang, tapi aku tak bisa menjamin jika aku akan mendukung Jayden."
"Ah begitu rupanya. Kenapa? Apa Anda memiliki rencana lain? Anda akan menggunakan sihir Anda untuk menghalangi langkah Pangeran Stefan? Membuat b*jingan itu terluka? Atau menggagalkannya untuk mendapatkan kain sutra?" tanya salah satu penyihir tanpa rasa bersalah.
Sena tersenyum kecut, kemudian menjawab, "Ya. Mungkin saja."
"Sejujurnya, aku memiliki rencana lain," gumam Sena.
Setelah dipijat di tengah mansion, para penyihir mulai membebaskan Sena untuk pergi ke mana pun Sena mau. Tempat yang Sena tuju adalah taman mansion penyihir. Di sana, tak ada orang yang datang berkunjung malam-malam, jadi Sena bisa menghabiskan waktunya dengan merenung.
Sena tersenyum, ketika matanya melihat ke arah langit malam. Di tempat ini, bintang dan bulan terlihat sangat jelas. Cahaya mereka menyinari gelapnya malam, dengan angin berembus dingin. Sena mengangkat jemari tangannya, untuk menyentuh bulan yang tak mungkin bisa dia genggam.
Setelah itu, Sena berkata, "Bulan ini bersinar sangat terang, sayangnya cahayanya bukan berasal dari bulannya sendiri. Melainkan cahaya pantulan dari matahari."
"Matahari tak terlihat di malam hari, tapi dia membantu bulan untuk bersinar terang."
Sena menutup kelopak matanya, tanpa sadar bibirnya bersenandung. Dia menyanyikan beberapa lagu yang hampir terlupakan, untuk acara sekolahnya dulu. Sena pikir suaranya akan terdengar seperti tawa seorang penyihir jahat. Namun, suara Sena yang sekarang melembut terdengar merdu untuk didengar lebih lama lagi.
"Aku tak mau menjadi bulan, yang hanya menunggu matahari membantunya menerangi bumi."
"Aku ingin menjadi matahari, yang mandiri menyinari bumi."
"Oleh karena itu, dibanding duduk melihat Stefan berlomba untuk Selena. Aku ingin mengikuti lomba untuk diriku sendiri. Akan kukalahkan pangeran sombong itu."
"Pokoknya hadiah pemenang hanya bisa menjadi milikku," gumam Sena sembari tersenyum lebar.
Apakah bisa?
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMPTED BY SUN WITCH [SUNGSUN JAYNO]
FanfictionSean, seorang pemuda bermulut julid tak pernah sedikit pun tunduk pada pembuli. Namun, karena sikap teguh Sean dalam mempertahankan haknya, sekelompok pembuli sengaja mendorong Sean dari rooftop atas sekolah. Sean pikir ini adalah akhir hidupnya, ak...