I

2.4K 287 52
                                    

Sore itu angin berhembus kian ribut terbangkan dedauan kering serta helaian rambutnya yang lepas. Gelak tawanya beriringan dengan langkah kaki yang dipercepat melewati jembatan kayu yang membentang sepanjang dua meter. Dinginnya udara senja tak lagi dihiraukan ketika sepasang sahabat itu sudah sibuk candakan segala hal yang melintas di kepala. Di tangan kiri masing-masing dari mereka terdapat sebuah kanvas kecil yang tak lagi polos. Sebuah goresan hitam dan putih mewarnai kanvas putihnya.

"Hahaha, bicara dengan mereka benar-benar membuang waktu. Harusnya tadi kamu sobek saja kertas mereka," ucap Jihoon dengan sedikit kesal mengingat teman satu kelasnya yang tadi sempat memulai debat tak penting dengan sang kawan baik.

"Jangan sembarangan, nanti kanvasmu yang dirusak oleh mereka. Ujiannya sudah dekat, aku tidak mau membuang waktu mengurusi mereka."

Jihoon berdecak. Rasanya ingin memprotes sifat baik kawannya ini. Bukan kali pertama Jaehyuk mendapat perlakuan tak baik dari teman sekelasnya namun selalu menolak mengurusi lebih jauh dengan alasan tak mau membuang tenaga sia-sia.

Langkah kakinya terhenti begitu keduanya tiba di depan sebuah rumah sederhana di tengah kota. Rumah kediaman Jihoon dan keluarganya. Bangunan dekat pusat desa itu mempermudahnya untuk menjangkau tempat-tempat penting. Terutama rumah sang kawan yang hanya berjarak dua rumah dari rumahnya.

"Jangan lupa bawa cat airmu besok, simpankan yang merah untukku, hati-hati di jalan," Jihoon melambaikan tangannya, isyaratkan pada Jaehyuk untuk segera beranjak tinggalkan pekarangan rumahnya.

Jaehyuk mengangguk, lalu beranjak tinggalkan halaman rumah Jihoon. Sementara Jihoon lantas dengan riang memasuki rumahnya. Bibirnya bersenandung merdu. Namun sayangnya keceriaannya itu harus sirna begitu ia membuka pintu dan dapati ruang tamu rumahnya yang dipenuhi oleh pengawal kerajaan.

Pandangan semua orang sontak tertuju padanya. Jihoon hanya dapat terdiam kaku saat dilihatnya seorang wanita bergaun cantik tiba-tiba berdiri sambil menatapnya dalam. Dalam hati ia memaki diri, berusaha cari tahu kesalahan apa yang telah ia perbuat sampai-sampai membuat Sang Ratu datang kemari untuk menghukumnya.

Namun daripada menghukum, ia justru dibuat semakin tak bisa berkata-kata saat ratu tiba-tiba menekuk lutut dan bersujud padanya. Jihoon otomatis turut merendahkan diri. Bibirnya kaku tak mampu berucap tanyakan alasan dari tindakan Sang Ratu barusan.

"Yang Mulia, kami mohon jangan seperti ini," ayah Jihoon angkat bicara, akhirnya ikut merendahkan diri di hadapan sang Ratu.

"Yang Mulia saya mohon, anda bisa lihat sendiri bahwa kami hanya memiliki seorang putra, kami tidak memiliki anak lain apalagi seorang putri, bagaimana bisa anda tega berniat merebutnya dari kami?!"

Jihoon mengangkat kepala. Mengintip pada ibunya yang sama sekali tak turunkan diri. Kedua kakinya tetap memijak dengan tegak dan angkuh.

Jihoon keheranan, tak mengerti dengan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Saat ia tengah sibuk memperhatikan ibunya, rungunya justru menangkap suara isak tangis dari Sang Ratu. Matanya menelisik penuh keterkejutan.

"Saya mohon, saya datang bukan sebagai seorang Ratu melainkan seorang Ibu yang tengah mencarikan penyembuh untuk putra tunggal saya," isak tangisnya memburu rongga dada. "Jika permintaan dari mulut seorang Ibu tidak dapat menggerakkan hati Tuan dan Nyonya, saya terpaksa gunakan kekuasaan saya sebagai Ratu."

Ibu Jihoon menatap tak percaya pada punggung ratu. Tubuhnya lemas, lalu jatuh ke lantai kayu begitu saja. Suaminya segera menangkap tubuhnya dan Jihoon buru-buru datangi ayahnya untuk membantunya membawa ibunya ke kamar.

Sang Ratu tak lagi dihiraukan. Kericuhan di rumah itu buat keberadaannya terabaikan secara tak sengaja. Ia tak bisa marah untuk hal itu karena ia pula lah yang menyebabkan keributan ini terjadi. Tabib akhirnya dipanggil setelah ratu meninggalkan kediamannya.

Cadar [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang