VIII

2K 228 21
                                    

Malam itu Junkyu tak bisa memejamkan matanya. Sepanjang malam ia terjaga seraya memperhatikan Jihoon yang masih terbaring tak sadarkan diri. Tabib bilang Jihoon akan bangun esok pagi seperti biasa, tapi Junkyu tak bisa tenang. Ia berakhir duduk di samping ranjang Jihoon dan memastikan bahwa istrinya benar baik-baik saja dan akan bangun besok pagi.

Setiap tarikan nafasnya lembut dan tenang. Kedua netranya tak bisa lepas dari mengamati bagaimana pahatan indah parasnya itu terlihat begitu damai dan mendamaikan. Kecemasannya berangsur menghilang bersama terbitnya sang surya.

Bersamaan dengan itu, kelopak dengan bulu mata lentik itu perlahan terbuka perlihatkan kornea beningnya yang cantik. Junkyu akhirnya menghela nafas lega begitu melihat sendiri Jihoon yang akhirnya sadarkan diri.

Jihoon mengerutkan kening merasa asing dengan tempatnya berbaring kini. Kepalanya ditolehkan ke kanan, terkejut kala melihat kehadiran Junkyu di sana. Jihoon lantas beranjak bangun, dan ketika itu barulah ia sadari bahwa ia berada di kamar pribadi Junkyu. Bersama dengan itu, Junkyu turut bangkit dan pindah duduk di tepi ranjang.

"Bagaimana perasaanmu, merasa baikan?"

Jihoon terdiam. Matanya berlarian kemana-mana menghindari menatap langsung kedua mata Junkyu. Gugup tiba-tiba menyerangnya. Ia tahu ia sendiri yang meminta Junkyu melepas cadarnya saat bicara dengannya, tapi ia juga tak menyangka bahwa rasanya akan begitu aneh saat ditatap seperti di waktu sepagi ini.

Perutnya serasa digelitik dan seperti ada sesuatu yang beterbangan di dalam sana. Sebelah tangannya memegangi perutnya rasakan hal aneh yang menganggunya kini. Semua pergerakannya tak lepas dari pengamatan Junkyu. Suaminya itu mendekat, lalu turut memegang perutnya sampai membuat Jihoon terlonjak karena kaget.

"Apa perutmu sakit?"

Jihoon menggeleng ribut. Panik. Suara gagal berusaha keluar degan normal. "A—itu, eum, saya, sepertinya saya hanya lapar," ucapnya dengan terburu-buru.

Jihoon hanya berucap tanpa berpikir dan berharap Junkyu berhenti menatapnya dengan intens dan tak lagi mempertanyakan banyak hal; walaupun sebenarnya sejak jadi Junkyu baru mengajukan dua pertanyaan sederhana. Namun siapa sangka, Junkyu justru memanggil pelayan dan minta agar dihidangkan makanan segera di kamarnya.

Jihoon benar-benar tak mampu mengatakan apa pun saat banyak hidangan dihidangkan di hadapannya. Junkyu masih di sana memperhatikannya, jadi Jihoon terpaksa memakan beberapa suap sebelum akhirnya berikan alasan bahwa ia sudah kenyang; yang padahal ia lapar saja belum.

Usai dengan sarapan dadakannya, Jihoon berpamitan pada Junkyu untuk kembali ke kamarnya sendiri. Siapa sangka, suaminya itu justru mengantarnya sambil merangkulnya seolah ia akan jatuh jika tidak begitu dan baru pergi setelah Jihoon masuk ke kamarnya dan menutup pintu.

Aneh. Junkyu tak pernah bersikap begitu sebelumnya.

Nafasnya dihela dengan kasar. Lelah. Kepalanya sakit setelah kejadian semalam. Banyak energi negatif yang tiba-tiba menyelubungi isi kepalanya. Jihoon tidak menjawab pertanyaan Junkyu yang menanyakan tentang keadaannya. Ia pikir ia baik-baik saja, tapi sekarang sakit di kepalanya terasa semakin membebani setelah Junkyu pergi.

       

𝓒𝓪𝓭𝓪𝓻

        

Menjelang siang hari itu, Junkyu pergi menemui kedua orang tuanya. Di kamar pribadi ayahnya, Junkyu dapati ibunya yang terduduk lemah dengan wajah cemas di samping ranjang ayahnya. Ayahnya, Sang Raja itu telah lama terbaring sakit. Saat pernikahannya saja ayahnya tak bisa hadir karena kondisinya. Penyakitnya menggerogoti tubuhnya dari dalam. Kini duduk pun ayahnya sudah tak mampu.

Cadar [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang