XXIII

1.3K 164 74
                                    

Jihoon sekarang punya rutinitas baru setiap malam, yaitu duduk di depan jendela kamarnya, mentap ke jalanan setapak yang remang cahaya, menunggu suaminya datang melewati jalan kecil di sudut rumahnya. Di bawah sinar rembulan sebagai satu-satunya penerang jalan, selain lampu-lampu lentera di depan setiap rumah warga, Junkyu berjalan kaki seorang diri untuk menjemput cintanya.

Senyum si manis merekah tak kalah indah saat melihat sosok suaminya di bawah sana. Jendela segera dibukakan dan biarkan Junkyu masuk agar kemudian dapat ia rengkuh tubuh dinginnya yang justru hantarkan banyak kehangatan. "Hari ini kita mau kemana," tanya itu terlontar begitu saja bagai sebuah kebiasaan.

Karena selama ini, setiap malam Junkyu selalu membawa Jihoon pergi ke tempat-tempat baru yang berbeda setiap harinya. Jihoon tak pernah dibiarkan berjalan jauh. Junkyu selalu menggendongnya dengan alasan tak mau Jihoon kelelahan, sedangkan Jihoon sendiri juga tak mau jika sampai Junkyu kewalahan mengangkat tubuhnya yang kian hari pasti kian bertambah berat mengingat janinnya yang terus tumbuh.

Terkadang Jihoon dibuat bertanya-tanya, kapan kiranya Junkyu akan lelah menggendongnya. Tapi tak masalah, setidaknya dengan Junkyu yang menggendongnya maka Jihoon dapat terus memeluk Junkyu sepanjang malam.

"Di luar sedang mendung, kita di sini saja ya," jawab Junkyu sedikit berbisik agar tidak ada yang mendengarnya.

"Eung?" Jihoon menolehkan wajah dan melepas pelukannya. Ia kemudian menengok keluar jendela dan memang benar awan tebal mulai berkumpul di atas sana.

Bibirnya berdecak. Sebal dengan cuaca yang seolah tidak mendukungnya malam ini. Langkahnya lesu saat kemudian duduk di tepi ranjang.

"Jangan sedih, ini, kubawakan untukmu," Junkyu menghampiri Jihoon, lalu ulurkan sebuah buntalan kertas yang saat dibuka, tiga buah muffin dengan topping berbeda disuguhkan di sana. Sedetik itu juga kedua mata Jihoon berbinar.

"Makan ini saja di sini, takutnya kalau kita keluar nanti turun hujan, ya," Junkyu turut duduk di samping Jihoon. Tangannya mengusap sayang rambut legam Jihoon.

Sekarang Jihoon mengangguk dan tak lagi murung seperti tadi. Ia baru ingat beberapa hari lalu pernah katakan pada Junkyu bahwa ia merindukan muffin buatan dapur istana yang biasanya ia nikmati saat pagi. Junkyu bilang roti-rotian di istana hanya dibuat di pagi hari dan sepertinya tidak mungkin membawakan satu untuk Jihoon di malam hari karena rasanya tak akan senikmat saat baru keluar dari panggangan di pagi hari.

Tapi malam ini Junkyu membawakan muffin yang Jihoon mau. Bukan hanya satu tapi tiga, sekaligus dengan topping-topping yang selama jadi favoritnya; stroberi, blueberry, dan satu lagi rasa coklat. Jihoon tidak tahu sejauh mana Junkyu memperhatikan dan mengawasinya, karena Junkyu selalu tahu apa yang Jihoon suka dan tidak walaupun Jihoon belum pernah mengatakannya sebelumnya.

"Kubawakan jeruk juga," katanya lagi. Satu buah jeruk diulurkan pada Jihoon dan Jihoon hanya menatapnya saja dengan mulutnya yang sekarang sibuk mengunyah roti. Muffin itu masih hangat dan rasanya seperti baru saja dibuat beberapa menit lalu.

"Aku tidak makan jeruk lagi belakangan ini, semua jeruknya hanya menumpuk saja," ucapnya kemudian menunjuk ke arah pojok ruangan di mana ada sebuah keranjang buah yang penuh dengan jeruk layu. "Aku tidak nafsu makan jeruk lagi, padahal aku suka," tambahnya lagi.

"Kenapa? Rasanya tidak enak?" Meskipun begitu, Junkyu tetap mengupaskan jeruk yang dibawanya tadi.

"Iya, mungkin karena belum musim jadi tumbuhnya tidak maksimal. Sayang sekali, padahal ini sedang purnama."

"Coba yang ini," Junkyu mengulurkan sepotong jeruknya.

Jihoon tak ragu ketika menerima suapan dari Junkyu. Bola matanya membulat begitu rasakan semburan rasa manis di dalam mulutnya. Senyumnya merekah lebar, muffin di tangannya sejenak itu terlupakan dan Jihoon pilih kembali menerima suapan jeruk dari Junkyu.

Cadar [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang