Ruang tempatnya duduk kini penuh akan putih mengelilingi diri. Ruang hampa tanpa sedikit pun warna itu memuakkan untuk dipandang. Namun juga membuat enggan untuk berpaling. Jihoon mendongak ke atas, menatap langit-langit yang juga sama putihnya. Segala bayangan masa depan dan masa lalu melintas di depan matanya dalam sekali kedipan.
"Misimu belum selesai, kenapa sudah ke sini?"
Suara itu mengundangnya untuk kembali menatap ke depan. Tak satu pun bayangan yang dapat netranya tangkap sebagai sumber suara. Bibirnya menyungging garis miris yang sendukan suasana hatinya.
"Aku pikir aku akan mati sekarang. Apakah belum?"
"Jika kamu mati sekarang, bagaimana penerus negri ini akan lahir?"
Senyumnya mengembang tanpa dapat ia kendalikan. Tangannya secara spontan mengusap perutnya yang kini tumbuh sebuah nyawa yang harus ia jaga baik-baik. Segala masa depannya tergantung pada kelahiran anaknya.
"Ada yang ingin kamu tanyakan?"
Jihoon menimbang sejenak. Baru tadi ia mendapatkan jawaban atas pertanyaannya dari Aeri. "Aku ingin tahu, apakah seluruh pengakuan Junkyu tentang cintanya itu, nyata," namun ia tetap kembali ajukan pertanyaan yang sama.
"Kamu tahu jawabannya, kenapa masih ingin bertanya?"
"Aku ingin tahu, apakah yang ratusan ribu tahun lalu Junkyu cintai itu juga adalah aku? Apa benar jika selama ini Junkyu hanya menungguku? Lalu bagaimana dengan kelahiran Aeri? Dia juga keturunan suci sebelumnya, bukankah ia juga bisa membantu Junkyu sembuh dari kutukannya dan menjadi cintanya?"
"Aeri bukan dilahirkan untuk menjadi penyembuh keturunan Bumi, dia lahir sebelum bencana itu terjadi, dia mengikat benang takdir tepat sebelum mautnya. Jihoon, kamu bukan dilahirkan karena Aeri telah memilih jalannya sendiri, tapi karena memang sudah waktunya bagimu untuk lahir dan selesaikan semua bencana yang kuciptakan dulu."
"Tapi Dewa Bumi telah melukaimu..."
"Aku dan kamu, apa bedanya? Hanya tempat kita berdiri yang membedakan kita. Sebelum kebencian memenuhi hatinya, perasaannya selalu nyata ketika mengungkapkan cinta. Seluruh langit membencinya karena telah berani mencintai Purnama, tapi dia bertahan dengan perasaannya sendiri."
Jihoon terdiam. Ingatan di kepalanya digulir, menatap kembali saat ia diperlihatkan pada masa di mana ia ditunjukkan sosok pria mirip Junkyu yang duduk sendirian di puncak sebuah bukit hanya untuk memandangi bulan purnama di angkasa. Senyum pria itu tidak pernah luntur bahkan sampai sang surya bersinar dan kaburkan presensi sang rembulan.
'Jika aku boleh meminta, apakah aku boleh bertemu dengan sang purnama ini dalam wujud manusia? Aku ingin mencintai seseorang seperti dia.'
Kala itu dia hanya seorang pemuda kesepian yang mengagumi indahnya malam berselimut sinar rembulan. Jiwanya suci dan kecintaannya pada indah rembulan murni adanya. Seluruh perasaannya tergambar begitu jelas di pantulan mata beningnya yang indah. Permintaannya tidak pernah lebih, dan keserakahan tidak pernah mencampuri keinginannya.
"Dia hanya pria biasa kala itu, Dewa Bumi menggunakan raga dan ketulusannya untuk bereinkarnasi demi sempurnakan seluruh ungkapan perasaan dan keinginannya. Sampai keserakahan dan kebencian menyelimuti matanya, sampai akhirnya dialah yang harus menanggung seluruh akibat dari perbuatan Bumi. Cintanya tetap murni, dan kamulah wujud dari keinginannya tersebut."
Kepalanya diisi oleh banyak pertanyaan. Ingin rasanya ia ajukan setiap pertanyaan di dalam kepalanya, tapi di satu sisi ia juga telah memiliki setiap jawaban dari setiap pertanyaannya. Kecuali satu pertanyaan, "Apakah kemampuan meramalku bisa ditutup saja? Aku tidak melihat masa depan lagi."
![](https://img.wattpad.com/cover/352550454-288-k220915.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cadar [ kyuhoon ]
Fiksi PenggemarB O Y S L O V E [ COMPLETED ] Sang Pangeran dari Pavana yang tak pernah tampakkan wajahnya. Rumor-rumor gila dibiarkan berkeliaran di seluruh negeri tentang Sang Pangeran yang dianggap memiliki paras cacat dan terkutuk. Sihir hitam dipercayai telah...