VII

1.9K 252 27
                                    

Pagi itu Jihoon baru terbangun saat Chaeryeong membangunnya. "Yang Mulia, anda harus bangun dan bersiap segera, hari ini anda harus pergi ke kota bersama Pangeran," ucapnya berbisik di samping Jihoon, yang akhirnya membuat Jihoon mau tak mau membuka matanya dan bangun.

Matanya mengerjap berusaha hilangkan kantuk di kelopak mata. Keningnya mengkerut saat sadar ia berada di kamarnya. Padahal ia tak ingat semalam pergi ke kamar untuk tidur.

Saat netranya menatap ke meja di samping kasurnya, ia terbelalak. "Eh, kalungku!" Pekiknya bergembira. Kalung di atas meja itu segera ia ambil.

"Kamu yang menemukannya? Di mana kamu menemukannya? Astaga, terima kasih banyak!"

Jihoon berucap pada Chaeryeong, tapi gadis itu hanya menatapnya dengan raut bingung. Chaeryeong akhirnya hanya diam saja dengan canggung menyaksikan kebahagiaan Jihoon yang tiba-tiba. Ia tidak melakukan apa pun tapi Jihoon terus berterima kasih. Kalung itu sudah ada di atas meja bersama sebuah gelang permata saat Chaeryeong datang tadi.

Dengan hati riang itu pula Jihoon pergi bersiap. Cukup lama ia bersiap. Jihoon berputar di depan cermin begitu selesai, gaun merah dengan taburan warna keemasan di beberapa ujung gaunnya itu membuatnya tersenyum puas.

Jihoon segera menyusul Junkyu ditemani Chaeryeong, tapi saat ia akan berangkat ke kota menggunakan kereta kuda, dayangnya itu tak ikut bersamanya. Jihoon hanya duduk berdua di dalam kereta bersama Junkyu.

Sunyi. Jihoon mengusap tengkuknya merasa tak nyaman dengan kesunyian dan kecanggungan yang terbentuk. Ia ingin melompat keluar aja jika keadaannya terus begini. Mereka ini kan sudah menikah tapi kenapa tak bisa bersikap seperti selayaknya pasangan suami-istri yang normal? Jihoon menggeleng kepala memikirkan sikap cuek Junkyu.

Jika sesulit itu bagi Junkyu untuk memulai sebuah jalinan, lantas kenapa bukan ia saja yang memulai? Jihoon menggeser duduknya, kini menghadap pada Junkyu sepenuhnya.

"Pangeran, apakah semalam anda yang membawa saya ke kamar saya?"

Junkyu menoleh. Terkejut sebenarnya dengan pertanyaan yang tiba-tiba. Ia tak menyangka Jihoon akan mengajaknya bicara seperti ini. Ia lantas mengangguk. "Kamu semalam tertidur," katanya memberikan alasan.

"Benarkah? Kenapa aku bisa tertidur ya? Bukankah semalam kita sedang mengobrol? Lalu kenapa saya malah tertidur?"

"Sepertinya itu jadi kebiasaan barumu, setelah kebiasaanmu yang tersandung dan jatuh."

Jihoon terkekeh. Mendengar hal itu dari orang lain selain ibunya terasa sedikit aneh. Seperti ada orang baru yang kini turut memperhatikan kebiasaannya.

"Bagaimana dengan tanganmu," tanya Junkyu lagi.

Jihoon menatap bingung. "Tangan? Tanganku kenapa?"

"Tanganmu yang terluka saat kamu jatuh di depan istana itu, apakah sudah baik-baik saja?"

Jihoon kembali dibuat tertawa. Ia lalu menunjukkan kedua telapak tangannya yang sepenuhnya sembuh tanpa adanya bekas luka. "Sudah lama sembuh," katanya.

"Oh, apakah aku terlambat menanyakannya?" tanyanya begitu ringan sambil membelai kedua tangan Jihoon.

"Apa saya masih harus memberikan jawaban atas pertanyaan retoris anda itu, Pangeran?"

Matanya saling menatap. Jihoon yakin Junkyu pasti tengah tersenyum di balik cadarnya itu. Sayangnya ia tak bisa melihatnya. Ia tak bisa melihat bagaimana ekspresi wajah Junkyu sekarang.

"Pangeran, sopankah jika saya bertanya, apakah anda memang harus terus mengenakan cadar setiap waktu?"

Junkyu diam, sementara Jihoon was-was takut pertanyaannya menyinggung sang pangeran. Jihoon mengepalkan tangan karena gugup, secara tak langsung justru menggenggam tangan Junkyu.

Cadar [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang