XV

1.5K 206 80
                                    

Minjeong, gadis empat belas tahun itu duduk termenung di balkon kamarnya. Tatapannya kosong, tapi tidak dengan isi kepalanya yang justru tengah bertempur. Bola matanya bergerak menelisik sekeliling istana, memperhatikan dan mengingat setiap sudut yang dapat dijangkau matanya.

Di Kerajaan yang besar begini, ia tampak kecil dan tersesat. Tak seorang pun di tempat itu yang ia kenal. Kanan kirinya penuh akan benda dan hal asing. Hanya ada satu orang yang sekarang ditugaskan untuk menjaga dan melayaninya. Dalam lubuk hatinya ia menangis. Ia tak ingin berada di sini dengan setiap tekanan yang kini memberatkan pundaknya.

Nafasnya dihela dengan berat. Ia lantas beranjak, meninggalkan kamar. Teguran dari pengawal dan dayangnya tak ia hiraukan. Kaki pendeknya melangkah dengan riang, berlawanan dengan degup jantungnya terus berdentum ketakutan.

Saat melewati taman, ia melihat Jihoon yang sedang berjalan-jalan seorang diri. Minjeong mempercepat langkahnya, seirama dengan laju degup jantungnya.

"Kak Jihoon!" panggilnya berteriak kencang.

Jihoon terhenti. Keningnya mengkerut saat melihat seorang gadis yang menghampirinya kini. Ia tak ingat ada anak-anak di dalam istana yang diizinkan berkeliaran sembarangan. Apalagi anak itu memanggilnya dengan sebutan kakak.

"Kamu siapa?" tanyanya begitu gadis itu telah berdiri tepat di hadapannya disertai senyum lebar yang entah kenapa justru membuatnya merasa tak nyaman. Tatapan matanya tak terlihat benar-benar hidup.

"Aku Minjeong, aku baru datang kemari seminggu yang lalu," jawabnya dengan intonasi yang terdengar begitu ceria dan menggembirakan, seolah ini adalah pertemuan yang paling dinantikannya.

"Oh, itu kamu," baru ia ingat dengan kedatangan seorang gadis dari Kerajaan Aira yang dikirim untuk menjadi selir Junkyu. Ia tak mengira akan disapa dengan begitu akrab seperti ini di pertemuan pertmanya.

"Ada apa, kenapa memanggilku?"

"Eum, aku boleh memanggilmu Kakak kan? Maaf jika aku terdengar tidak sopan apalagi ini adalah pertemuan pertama kita, tapi aku sudah mendengar banyak soal Kakak dan sangat menyukai Kakak, karena itu aku mau dikirim kemari," jelasnya lagi panjang lebar masih disertai senyuman.

Jihoon mendengung. Ia bingung harus menjawabnya bagaimana. Saat matanya saling bersitatap dengan bening penuh harapan itu, ia menyadari adanya sesuatu yang janggal. Jihoon akhirnya mengangguk.

"Tentu saja boleh, kudengar kamu juga pengikut Dewi Purnama, apa benar?"

Minjeong mengangguk dengan yakin. "Iya, aku dan Ibuku, hanya kami berdua sebenarnya yang mengikuti secara rutin dan patuh, yang lain hanya main-main saja. Oh, aku juga bagian dari Klan Luna, lihat?" Minjeong menunjukkan kalungnya pada Jihoon.

Jihoon makin dibuat bingung. Liontin itu terlihat asli, tapi ia tidak ingin mempercayai Minjeong begitu saja karena sikapnya terasa aneh baginya. "Boleh aku melihat kalungmu?" tanya Jihoon kemudian, yang sayangnya justru dapatkan gelengan kepala dari Minjeong.

"Kakak tidak mempercayaiku?" Minjeong bertanya dengan raut dan nada sedih yang membuat Jihoon jadi merasa bersalah.

"Bukan maksudku begitu, aku hanya ingin memastikan saja karena ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengan orang dari Klan Luna," ucapnya buru-buru beralasan.

Setelah mendengar alasan tersebut, Minjeong kembali tersenyum lebar. "Kakak, sebaiknya sekarang kita berteman saja, kita kan berkedudukan sama di Kerajaan ini."

"Sama? Maksudnya sama? Dilihat dari mana?"

"Kita kan sama-sama selir Yang Mulia."

Jihoon terdiam. Rupanya begini rasanya disebut sebagai selir ketika pada kenyataannya ialah satu-satunya orang yang seharusnya pantas disebut sebagai istrinya. Rasanya aneh, dan ia tidak menyukainya.

Cadar [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang