XXII

1.3K 167 145
                                    

Mentari terus terbit. Di paviliunnya, Karina sibuk menimang putra kecilnya di bawah hangatnya sinar surya. Bayi gempal itu tampak menggeliat setiap kali kulitnya terpapar langsung sinar matahari dan kembali tenang ketika bayangan Karina menutupinya.

Sejak kelahirannya dua bulan lalu, Junkyu memang menemaninya setiap hari. Namun sejak kabar kehamilan Jihoon dan Jihoon yang sampai hari ini belum kembali ke istana, Junkyu sudah hampir tidak pernah lagi datang menemuinya; ia tahu suaminya itu pasti khawatir dan hanya akan fokus pada Jihoon sampai Jihoon bisa dibawa kembali ke istana.

wajahnya ditolehkan begitu mendengar langkah kaki mendekat. Melihat kedatangan ibu mertuanya, Karina lantas berpindah ke tempat teduh.

"Bagaimana keadaan anakmu? Dia sehat kan?"

Pertanyaan itu jadi yang pertama ditanyakan. Bukan hanya karena ia yang baru sempat mengunjungi, tetapi juga khawatir cucu pertamanya itu akan mengidap kutukan yang sama dengan Junkyu mengingat Junkyu adalah ayah kandungnya.

"Dia lahir dengan sehat, tabib bilang kondisinya sangat baik. Aku bersyukur dia tetap sehat walaupun lahir dengan keadaan seperti itu."

Ibu mengusap punggung Karina pelan seraya memperhatikan wajah tenang cucunya yang bibirnya tak mau diam seolah ingin mengatakan banyak hal. Mata kecilnya yang terhimpit pipi itu menatap penasaran wajah yang baru ditemuinya itu.

"Hai sayang, ini Nenekmu, Ibu dari Ayahmu. Ayo sapa Nenek dulu, hai Nenek," Karina menggerakkan tangan pendek Doyoung untuk menyapa, sementara bayi itu hanya sedikit tertawa dan malah menatap Karina.

Ibu terkekeh kecil, lalu ikut bercanda dan mengobrol dengan bayi yang bahkan belum bisa ucapkan sepatah kata itu. Kembali melihat bayi setelah bertahun-tahun rupanya dapat membuatnya merasa begitu damai. Tawa lucu Doyoung yang terlontar ketika mengobrol Karina mengingatkannya pada Junkyu yang bahkan ketika lahir pun tak bisa langsung ia gendong dan temui.

Senyumnya terukir puas saat melihat Karina yang juga pancarkan kebahagiaan. Tidak seperti Karina yang ia temui tahun lalu untuk dinikahkan dengan Junkyu. Ia ingat jelas gadis itu sempat terkejut dan hampir menangis ketika kedua orang tuanya langsung menyetujui lamaran tanpa sedikit pun keraguan dan pertimbangan.

Keputusasaan jelas tergambar di wajahnya selama menjalani upacara pernikahan. Sama dengan Jihoon yang ketika itu hanya bisa memikirkan bayangan kematiannya setelah menikah dengan Junkyu, Karina pun sama. Selain takut ia akan mati seperti gadis-gadis Pavana lainnya, ia juga masih merasa tak rela karena dinikahi untuk dijadikan istri kedua.

Lagipula wanita mana yang rela dijadikan yang kedua. Bahkan di malam pertama pernikahannya pun ia kembali menangis saat bertemu langsung dengan Junkyu. Ketakutan lebih banyak mengisi hati dan pikirannya kala itu. Ia bersyukur ia tidak mati malam itu, juga bersyukur karena Junkyu cukup baik padanya dengan memeluknya sepanjang malam untuk memenangkannya.

Sampai hari di mana ia resmi menjadi istri Junkyu pun Karina masih sering mempertanyakan mengapa Jihoon mengizinkan Junkyu menikahinya. Jika bukan untuk Pavana, Karina mungkin tidak akan mampu bertahan hingga hari ini. Juga Junkyu yang terus mendukungnya setiap kali ia kembali merasa tertekan, ia jadi bisa dapatkan kembali kebahagiaan yang ia kira akan hilang setelah pernikahan yang tidak diinginkannya ini.

"Terima kasih, karena kamu masih mau bertahan sampai sekarang."

Karina menoleh, sedikit terkejut atas ungkapan yang tiba-tiba. Namun ia lantas segera mengukir senyum sambil mengangguk. "Saya bertahan demi Pavana, saya juga mencintai tanah kelahiran saya," balasnya.

Doyoung masih nyaman dalam gendongan Karina, perlahan-lahan mulai memejamkan mata dengan mulut kecilnya yang sesekali menguap.

"Itulah mengapa aku berterima kasih, Pavana sangat beruntung karena memilikimu. Apa selama Junkyu juga memperlakukanmu dengan baik?"

Cadar [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang