XI

1.7K 222 24
                                    

Sang surya telah terbenam. Rembulan purnama telah menggantikan tugasnya. Junkyu menatap heran bulan purnama di angkasa sana. Seingatnya kemarin bahkan belum sampai separuh tapi kenapa sekarang sudah purnama? Ia berusaha mengabaikannya dan melanjutkan perjalanan memasuki istana kediamannya.

Dalam perjalanannya menuju kamarnya sendiri, langkah kakinya tiba-tiba berhenti. Kepalanya ditolehkan ke arah pintu kamar Jihoon yang tertutup. Ia jadi teringat akan pembicaraannya dengan Jihoon siang tadi, tapi bukankah ini sudah terlalu larut? Jihoon pasti sudah tidur.

Namun entah kenapa Junkyu tetap membawa dirinya menuju pintu kamar Jihoon dan membukanya perlahan. Pandangannya mengedar menatap seisi kamar Jihoon yang tak begitu terang.

Awalnya ia ragu, tapi akhirnya Junkyu tetap masuk dan hampiri ranjang Jihoon. Ia duduk di tepi ranjang memperhatikan Jihoon yang mungkin sudah bermimpi indah. Junkyu hanya berniat menengok Jihoon sebentar, namun tangannya yang tak bisa diam itu justru sibuk mengusapi pipi empuk Jihoon sampai membuat Jihoon terganggu dan akhirnya terbangun. Junkyu buru-buru menjauhkan tangannya begitu Jihoon mulai membuka mata.

"Eung, Pangeran...," Jihoon mengucek kedua matanya berusaha kembalikan kesadaran diri.

"Maaf, maaf karena membuatmu terbangun, aku tidak bermaksud mengganggu tidurmu," Junkyu langsung meminta maaf karena merasa bersalah.

Jihoon hanya mengangguk, kemudian menyibak selimutnya dan bangkit duduk. Matanya masih setengah terbuka tapi tetap dipaksa untuk bangun di tengah malam begini.

"Apa keputusan dari Ratu?" tanyanya tiba-tiba masih dengan matanya yang diberatkan oleh kantuk itu. Junkyu terkekeh melihat bagaimana Jihoon berusaha agar tak lagi tertidur.

"Kurasa keputusannya sudah mutlak, Ibu setuju untuk aku menikah lagi sebelum penobatan dan naik tahta dengan siapapun yang nanti akan menikah denganku," jawabnya dengan nada lesu.

Melihat Junkyu yang tampak murung membuat Jihoon jadi iba juga; Junkyu sudah melepas cadarnya sedetik setelah ia memasuki kamar Jihoon, karena itulah Jihoon dapat melihat dengan jelas bagaimana lesunya suaminya itu.

"Lalu kenapa anda terlihat sedih? Bukankah itu juga demi kebaikan semua orang, terutama demi Pavana sendiri."

Helaan nafasnya menyiratkan banyak hal yang membuatnya frustasi sejak kemarin. Bukan hanya tentang ayahnya yang masih sakit, penobatannya yang tiba-tiba, atau pernikahan keduanya yang terpaksa harus ia lakukan, tapi ada banyak hal lainnya yang membuatnya terkadang ragu untuk terus maju.

"Aku pikir, selama ini sihirku hanya berfungsi padamu. Aku takut, jika aku menikah lagi, bagaimana jika ternyata kutukannya masih ada dan aku kembali merenggut nyawa orang? Bagaimana jika ternyata aku hanya diizinkan untuk menikah denganmu?"

Jihoon ikut diam termenung. Ia tak pernah berpikir sejauh itu. Jihoon menoleh ke arah jendela, menatap sinar rembulan yang menembus kaca jendela. Keningnya mengkerut begitu melihat sinar rembulan yang terlibat lebih biru dari biasanya. Ia tiba-tiba teringat akan sesuatu.

"Pangeran, apakah anda masih menghindari bersentuhan dengan orang lain? Apa yang membuat anda yakin bahwa kutukannya belum sepenuhnya hilang?"

Junkyu menatap Jihoon dengan raut bingung. "Aku masih menghindari semua orang, karena setiap aku berdekatan dengan orang lain dalam waktu lama, justru aku yang merasa sakit."

Benar. Apa yang pernah Jihoon baca rupanya benar. Di buku yang ia baca di perpustakaan Junkyu, ada bagian yang menuliskan bahwa satu-satunya obat untuk menutup sepenuhnya kutukan dari sang Dewi adalah dengan darah dari keturunan suci Dewi Purnama. Sayangnya selama ratusan tahun keturunan suci itu tak pernah dilahirkan.

Cadar [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang