V

2K 270 35
                                    

Tok

Tok

Tok

Tok

Bising yang menganggu tidurnya itu akhirnya dipedulikan. Wanita paruh baya itu tergerak perlahan meninggalkan ranjangnya. Pelan-pelan menyibak selimut dan pastikan tak akan menggangu tidurnya sang suami. Langkah kakinya sedikit mengendap saat hampiri pintu depan.

Begitu pintu dibuka, tampaklah orang yang sejak tadi mengetuk ribut pintu rumahnya. Suaranya hampir terlempar keluar karena kaget dan takut. Namun seluruh takut itu lenyap digantikan keterkejutan begitu penutup wajah orang di hadapannya itu dibuka.

Jihoon.

Tangannya segera ditarik setelah menoleh ke sekitar pastikan tak ada seorang pun yang melihat kedatangannya.

"Astaga, bagaimana kamu bisa kemari, ada apa?"

Gurat cemasnya tergambar begitu jelas. Namun Jihoon hanya balas dengan cengiran seluruh ketakutan ibunya itu.

"Ibu, maaf menganggu malam-malam, tapi ini," Jihoon mengulurkan tangannya, perlihatkan perban di telapak tangannya yang sudah semerah darah.

Ibunya terperangah. Langsung saja ia membawa Jihoon ke halaman belakang rumahnya dan siapkan satu mangkok air khusus untuk mengobati luka Jihoon.

Berulang kali Jihoon meringis menahan perih di kedua tangannya. Lidahnya digigit kuat agar suaranya tak sampai lepas berteriak dan berakhir menganggu semua orang.

Air yang mulanya sewarna susu itu berubah semerah darah, kemudian perlahan berubah biru bersama hilangnya rasa sakit di kedua tangan Jihoon. Ketika tangannya diangkat, bahkan tak segores luka pun terlihat di sana. Tangannya kembali bersih tanpa luka.

"Masih sakit?"

Jihoon menggeleng. "Terima kasih Ibu, untung saja," ucapnya seraya hela nafas lega.

"Hahh, kamu ini, lain kali berhati-hatilah, jangan sampai terluka lagi, dan kalau sampai terluka, cepat-cepatlah datang kemari, hm?" Ucapnya sambil mengusap-usap rambut putranya.

Jihoon hanya menganggukkan kepala. Entah akan bagaimana dia kedepannya, tapi jatuh dan terluka adalah kebiasaan Jihoon sejak ia masih kecil. Jihoon tidak pernah mena saat jatuh atau terluka, tapi lukanyalah yang akan menangis dan keluarkan banyak darah tanpa bisa berhenti.

"Apa Pangeran tidak bisa mengobati lukamu? Bukankah Pangeran memiliki sihir juga?"

Jihoon menoleh. Raut wajahnya ditekuk memikirkan ucapan ibunya. Ia tak pernah bertanya. Meskipun ia tahu bahwa lukanya hanya dapat ditutup dengan sihir, tapi ia masih tak memiliki cukup banyak keberanian untuk bertanya dan meminta tolong pada Junkyu.

"Ibu, apakah ini artinya aku berganti kebangsawanan?" tanyanya beralih topik.

Ibunya diam. Helaan nafasnya yang kasar terdengar berat.

"Sayangnya, iya...," jawabnya.

"Apa itu artinya, klan kita akan habis? Tidak ada lagi? Kita yang terakhir?"

Di Pavana, keluarga bangsawan tinggal tak jauh dari istana. Tempat tinggalnya mewah dengan berbagai fasilitas bagus dan akses khusus ke istana untuk menemui keluarga kerajaan. Sedangkan keluarganya, tinggal di kota yang isinya hanya masyarakat biasa.

Keluarganya, secara keturunan memang merupakan keturunan bangasawan. Namun mereka tak bisa secara terang-terangan mengungkapkan hal tersebut.

Ibunya tersenyum. Rasa ingin tahu Jihoon tentang sejarah moyangnya memang luar biasa, tak pernah habis atau pun berkurang walaupun sedikit. Tangan Jihoon diraih, lalu digenggam dan diusap perlahan.

Cadar [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang