XII

1.6K 235 38
                                    

Matahari sudah akan terbenam, tapi Jihoon masih tak kunjung bangun. Semua dayangnya sampai panik dan berbondong-bondong mencari Junkyu untuk memberitahu pasal Jihoon yang juga belum bangun padahal langit sudah sore. Junkyu tentu saja langsung kembali ke kamar Jihoon tanpa pedulikan sisa kesibukannya bersama ibunya.

Jihoon tak mengatakan apa pun semalam selain berpesan agar tidurnya tidak diganggu karena ia membutuhkan pemulihan. Ia sudah sempat memanggil tabib tapi tabib itu juga mengatakan bahwa Jihoon hanya tidur setelah melakukan pemeriksaan sederhana yang tak sampai menganggu tidur Jihoon. Jadi sekarang, sembari menunggu matahari terbenam Junkyu hanya bisa berdiam diri di samping Jihoon menunggunya bangun dengan keresahan.

Junkyu menggenggam tengan Jihoon dan mengusapnya pelan. Hatinya terus risau dan kecemasan seolah menghantuinya karena ia benar-benar tidak tahu apa pun tentang akibat atau efek yang akan muncul setelah pengikatan benang takdir semalam. Dicari dalam catatan manapun, Junkyu tetap tak menemukan satu kalimat pun yang menyebutkan tentang benang takdir dari Dewi Purnama. Kerahasiaannya sangat dilindungi.

Renungannya dikejutkan oleh pergerakan tangan Jihoon yang ditarik menjauh darinya. Junkyu menoleh. Hatinya dilegakan oleh penampakan Jihoon yang akhirnya membuka matanya.

"Eung?" Jihoon mengerjap berusaha fokuskan penglihatannya. Senyumnya merekah tanpa sadar begitu melihat Junkyu berada di sampingnya. "Pangeran, kenapa anda di sini," tanyanya masih dengan suara serak yang lemah.

"Kamu membuatku khawatir, kenapa kamu tidak bilang kalau kamu butuh tidur seharian penuh?"

Jihoon perlahan bangkit duduk. Keningnya mengkerut mendengar pertanyaan Junkyu. Ia lalu menoleh ke arah jendela dan dikejutkan oleh langit yang telah menggelap. Rasanya ia hanya tidur sebentar tapi kenapa langit sudah gelap lagi? Tubuhnya bahkan masih terasa lelah.

"Saya juga tidak tahu jika saya butuh istirahat selama ini," kembali Jihoon menatap Junkyu, lalu terkekeh kecil. "Ini pertama kalinya saya tidur selama ini. Saya pasti melewatkan banyak hal," Jihoon beranjak hendak turun dari ranjangnya, tapi kaki-kakinya yang masih lemas itu rupanya tak sanggup menyangga tubuhnya sampai ia hampir jatuh ke lantai jika saja Junkyu tak cekatan menahan tubuhnya yang limbung.

"Hati-hati, kamu mau kemana?" Pelan-pelan Junkyu melepaskan pegangannya pada Jihoon saat Jihoon akhirnya bisa menegakkan berdirinya lagi, tapi tangannya tetap teguh memegangi tangan Jihoon untuk jaga-jaga.

"Saya harus tetap bangun, tidak mungkin saya melanjutkan tidur lagi. Lagipula, sepertinya saya butuh makan."

Cengiran polos Jihoon buat Junkyu terkekeh. Rambut hitam istrinya itu ia usap pelan, lalu panggilkan para dayang untuk membantu Jihoon dan segera siapkan makanan untuk Jihoon. Junkyu segera undur diri dari kamar Jihoon begitu para dayang memasuki kamar.

Meskipun bangun saat hari telah malam, Jihoon tidak bisa langsung tidur lagi begitu saja. Ia perlu mengisi perut dan sedikit menggerakkan badan agar tak ada anggota tubuhnya yang lemas seperti tadi.

Setelah selesai menyantap makan malamnya, Jihoon tak langsung kembali tidur di kamarnya. Jihoon dengan gaun tidur birunya, ia beranjak ke halaman belakang istana pangeran sambil membawa satu buah jeruk di tangannya.

Junkyu yang saat itu hendak menengok Jihoon ke kamarnya jadi urung saat dilihatnya siluet bayangan Jihoon di halaman belakang. Segera saja Junkyu membelokkan langkah menyusul Jihoon di belakang.

Di dalam istana pangeran tidak ada seorang pengawal pun saat malam, semuanya berjaga di halaman depan dan pintu gerbang depan. Junkyu bisa melepas cadarnya saat tak ada seorang pun di dalam istana; mengingat istrinya itu lebih suka menatap wajahnya langsung tanpa terhalang sehelai kain tersebut.

Cadar [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang