XXVI

1.5K 174 134
                                    

Langkah kakinya terseyot-seyot berpegangan pada pohon dan tanah. Nafasnya bagai dikuras dari paru-parunya. Seluruh tubuhnya gemetar, ketakutan akibat ledakan yang hampir saja turut merenggut nyawanya. Minjeong mendudukkan diri bersandar pada pohon besar yang cukup menyembunyikan tubuh kecilnya.

"Nona Minjeong!"

Minjeong tersentak. Ia buru-buru menoleh mencari asal suara. Di kejauhan sana dilihatnya orang-orang berseragam dari Pavana. Kali ini ia mengucap banyak syukur. "Aku di sini!" Teriaknya tak begitu keras tapi tetap berhasil didengar. Para prajurit itu segera menghampiri Minjeong dan membantunya berdiri.

"Kalian, bagaimana kalian bisa kemari?" tanyanya terheran begitu melihat wajah-wajah asing para prajurit Pavana ini karena bukan orang-orang ini yang ditugaskan untuk mengawalnya, orang-orang ini jelas baru saja datang dari istana.

"Kami diperintahkan untuk mencari Nona, Yang Mulia dan yang lainnya sedang memeriksa lokasi ledakan."

"Apa?!" Minjeong mendelik dengan kedua mata melotot. "Tempat itu berbahaya, ledakan itu melepaskan racun di udara, suruh semua orang pergi dari sana, cepat!"

Salah satu prajurit segera beranjak, berlari kembali ke lokasi ledakan. Minjeong lemas, tubuhnya kembali meluruh ke tanah. Ini semua gara-gara Yoshi dan rencana liciknya; batinnya terus memaki Yoshi yang sekarang entah kemana perginya.

𝓒𝓪𝓭𝓪𝓻

Di kaki gunung Ero, Junkyu masih terjebak di sana dan tidak tahu kenapa kudanya juga menolak untuk terus maju ke depan. Sedangkan orang yang menghadang jalannya itu juga tidak mau menyingkir padahal ia sedang sangat buru-buru. Ia tak punya waktu untuk meladeni apa pun mau orang ini. Junkyu turun dari kudanya hendak menyingkirkan orang tersebut. namun sebelum ia benar-benar melemparkan amrah, orang itu lebih dulu menurunkan jubah yang menutup wajahnya. Detik itu pula Junkyu terdiam kaku melihat wajah yang ia yakin pernah ia temui sebelumnya.

"Yang Mulia Raja, senang bisa bertemu lagi. Sepertinya kondisimu sudah jauh lebih baik sekarang."

"Aeri...?" bisik Junkyu sedikit ragu. Ia ingat pernah bertemu dengan orang ini saat ia kecil dulu, saat ia pertama kali tahu mengenai kutukan yang bersemayam dalam jiwa dan tubuhnya, saat ia akhirnya memilih untuk menutup diri sepenuhnya dari khalayak umum. Hal itu terjadi hampir dua puluh tahun yang lalu, ketika ia masih berusia sembilan tahun, tapi wanita ini masih terlihat sama tanpa sedikit pun perubahan di wajahnya; seolah dia tidak menua bersama waktu.

"Anda masih mengingat saya rupanya. Yah, sebuah kehormatan untuk saya. Terima kasih telah menyayangi kedua istrimu dengan tulus dan berusaha adil, sampai bertemu lagi besok."

Sebuah cahaya yang membutakan mata muncul entah dari mana. Junkyu reflek menutup kedua matanya, menghindari cahaya yang mungkin dapat mencederai kornea. Selang beberapa saat, ketika ia tak lagi merasakana danya cahaya yang menyirami mata, Junkyu memberanikan diri kembali membuka mata dan menatap sekelilingnya yang tiba-tiba berubah. Ia tak lagi berada di hutan yang dipenuhi pohon-pohon, tetapi di sebuah tempat yang ia tahu jelas adalah gerbang kerajaannya. 

Aeri tak lagi ada di sana. Junkyu sendirian. Tapi tak ada waktu baginya untuk terlalu lama bertanya-tanya dan mencari tahu. Kudanya segera ditunggangi dan kembali melaju menuju istana. Di halaman istana Jihoon sudah dipenuhi banyak orang, membuat Junkyu kembali bertanya-tanya mengapa semua orang berkumpul di luar dan bukannya membantu persalinan Jihoon jika benar Jihoon melahirkan malam ini.

"Ada apa ini? Kenapa semua orang berkumpul di sini?" 

Semua orang dikejutkan oleh kedatangan Junkyu, tapi juga dibuat mengucap banyak rasa syukur saat akhirnya melihat kedatangan sang raja, dan Junkyu juga turut dibuat terkejut saat melihat seluruh tabib kerajaan ada luar dan bukannya membantu persalinan Jihoon di dalam sana. "Kenapa semua tabib ada di sini? Lalu siapa yang membantu jihoon bersalin?!" sentaknya kesal seketika. 

Cadar [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang