XXVIII

1.1K 148 64
                                    

Siang kembali berlalu. Doyoung keluar dari ruangan Junkyu dengan kepala tertunduk, helaan nafasnya berat, bahunya terunduk lemas, dan langkah kakinya berat saat meninggalkan ruangan ayahnya. Berbagai macam pikiran memenuhi benaknya yang tak lagi mampu menampung risau. Kian hari, kian tahun, kian banyak tanggung jawab yang dipikulnya hanya karena posisinya sebagai putra pertama yang akan menjadi calon penerus.

Ia tak pernah mengeluh. Sejak usianya tiga tahun hingga kini telah menginjak sembilan tahun, Doyoung tidak pernah sekali pun mengeluh di hadapan Junkyu atas rasa lelahnya. Namun hari ini, saat sekali saja ia keluhkan lelah, ia langsung dapatkan ceramah panjang atas kemampuannya yang sering dibilang tidak bisa berkembang.

Doyoung juga tidak pernah mengeluh pada Karina karena ia tahu, ibunya itu sudah terlalu banyak menanggung beban atas kekhawatiran terhadap dirinya yang rupanya tak bisa sempurna di mata ayahnya. Ia tak ingin menambah bebannya hanya karena sedikit lelah yang ia rasakan.

Tapi ia selalu punya satu tempat istirahat yang selama ini ampuh naikkan suasan hatinya yang kacau. Langkah kakinya berubah ringan saat berbelok ke kanan, menuju istana Jihoon yang juga jadi kediaman adiknya; Junghwan.

"Oh, hai Doyoung, mau ketemu Junghwan ya," Jihoon yang pertama menyapanya. Seperti biasa, Jihoon selalu duduk di teras sambil memakan kudapan kecilnya.

"Iya, Junghwan ada kan?"

Jihoon mengangguk. "Masuk saja, jangan bertengkar lagi ya," jawab Jihoon sedikit berikan peringatan pada yang muda, yang memang beberapa kali kerap ia temukan bertengkar dengan Junghwan karena beberapa alasan kecil.

Doyoung segera masuk dan lurus memasuki kamar Junghwan begitu saja tanpa mau repot ucap permisi atau mengetuk pintu. Si pemilik kamar juga tak begitu terkejut, Junghwan yang sedang menulis sesuatu di buku catatannya itu hanya menoleh sejenak dan menatap datar Doyoung sebelum kemudian kembali pada lembar kertasnya.

"Kakak sudah selesai latihan? Nanti dimarahi Ayah lagi kalau Kakak kabur-kaburan," Junghwan berujar mengingatkan Doyoung agar berhenti membuang waktu dengan kabur dari sesi belajarnya; jadwalnya hari ini seharusnya berlatih memanah bersama pelatihnya.

"Aku tidak latihan hari ini, aku lelah," Doyoung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur Junghwan. Matanya menelisik rak di samping dinding yang penuh oleh berbagai macam pernak-pernik dan berbagai patung miniatur, berbeda dengan rak di kamarnya yang penuh oleh halaman kertas.

Ini adalah hobi Junghwan yang ia tahu, yaitu mengumpulkan cinderamata dari berbagai daerah dan menyimpannya di rak di samping kasurnya. Terkadang Doyoung iri pada bagaimana Junghwan menjalani hidupnya karena berbeda dengannya yang harus menanggung banyak tanggung jawab, Junghwan bahkan hanya belajar di rumah dan tidak harus mengikuti banyak pelatihan sepertinya.

"Itu kalung ruby, baru ya," tanyanya begitu matanya tangkap adanya presensi pajangan baru di rak tersebut.

"Iya, Ayah yang memberikannya kemarin. Aku tidak mungkin memakainya, jadi aku menyimpannya di sana."

Doyoung lalu berbalik, tidur telungkup sambil menatap yang lebih muda. "Kalungmu itu, baru juga ya? Aku belum pernah melihat yang seperti itu," tanyanya lagi saat sadar sekarang Junghwan memakai sebuah kalung dengan bandul baru putih yang sebelumnya belum pernah ia lihat.

"Iya, dari Ibuku. Katanya ini hanya tinggal satu, diberikan padaku saat ulang tahunku kemarin, yang Kakak lupakan," jawabnya dengan nada malas di akhir.

Ya, baru bulan lalu Junghwan berulang tahun dan Doyoung jelas sekali melupakan ulang tahunnya dan bahkan tidak mengucapkan selamat saat dia sudah diingatkan oleh Junghwan yang saat itu sempat marah dan menolak bicara dengan Doyoung.

Cadar [ kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang