— RANGKAIAN BAHAGIA —
Sesak.
Telapak tangannya berpegangan pada tembok. Langkah kakinya begitu berat, pandangannya benar-benar sayu, jangan lupakan bibir yang memucat serta kering. Samar-samar ia melihat televisi masih menyala di ruang keluarga, satu tangannya bertahan di tembok.
"Ibu, aku ingin bersama Ibu."
Sowon terperanjat, ia beranjak berdiri dan berbalik menghadap ke arah anak gadis yang bersuara parau. Pandangan mereka bertemu.
"Sinb yya," panggil Sowon pelan. "Sinb yya!"
Tanpa berpikir lagi Sowon berlari, ia menggapai tubuh yang begitu lemah itu. Diusapnya punggung kepala Gadis Nam, saat ia dorong tubuh itu kepalanya kontan menengadah hilang kesadaran.
"Sinb, sadarlah."
"Sinb yya, sadarlah."
"Hei, buka matamu."
"Nam Sinb, buka matamu!"
Telapak tangan Sowon terus bekerja menepuk pipi Gadis Nam, tapi Sinb tak kunjung memberi respon sehingga membuat Sowon makin panik. Alhasil, Sowon berteriak memanggil Umji, membangunkan putrinya yang sudah tidur dari beberapa jam lalu. Waktu menunjukkan dini hari, dan entah mengapa Sowon masih terjaga.
"Sinb, kenapa?"
"Cepat, bantu Ibu bawa Sinb ke kamarnya!"
"Baik, Ibu."
Dengan bantuan Umji, Sowon berhasil membawa tubuh Sinb ke kamarnya. Raga itu terbaring lemah di atas ranjang, matanya masih terpejam dengan damai. Sowon bergegas pergi, ia merogoh ponselnya dan menghubungi Lee Jennie. Tak peduli dengan waktu saat ini, Sowon memaksa menelepon Lee Jennie.
"Datanglah, Sinb demam tinggi."
Tanpa menunggu balasan dari Jennie, Sowon mematikan panggilan. Dia menghampiri Umji yang berdiri di samping ranjang Sinb, menatap Gadis Nam cemas karena belum sadar juga.
"Ibu," panggil Umji. "Ada apa?"
"Ibu juga tidak tahu," kata Sowon, ia menempati tepian ranjang dekat Sinb dan menaruh kepala Gadis Nam pada pahanya. "Hei, sadarlah."
Sowon benar-benar khawatir dengan kondisi Sinb saat ini, entah apa yang membuatnya sampai demam tinggi. Padahal, baru kemarin dia sembuh, atau mungkin imunitas tubuhnya memang lemah.
"Biarkan aku memeriksanya."
Jennie datang dalam waktu yang singkat. Dengan Sowon yang masih menjadikan pahanya sebagai bantalan, Jennie memeriksanya. Jennie terlihat membasahi bibirnya yang mengering, ia meraih wajah Sinb dan menepuk-nepuk pipinya.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Jennie.
Sowon menggeleng. "Aku tidak tahu, tiba-tiba aku mendengar suaranya dan saat berbalik dia pingsan."
"Ibu~"
Suara seraknya terdengar juga, hal itu tentu membuat siapa pun merasa lega. Sepasang matanya perlahan berkedip, memberikan banyak sekali kelegaan bagi mereka yang sudah sangat panik.
"Sinb yya," panggil Jennie, ia menepuk pipinya minta kesadaran sepenuhnya. "Hei, kau mendengar-ku?"
"Aku bermimpi Ibu lagi," ucapnya. "Ibu mengajakku pergi, tapi aku tidak pernah bisa mengikutinya."
Sowon dan Jennie beradu tatap.
"Kenapa aku tidak ikut saja dengan Ibu?"
"Hei." Jennie mengusap wajahnya dengan lembut. "Tidakkah kau merasa lebih baik sekarang? Apa ada rasa pusing? Atau sesak?"