"Ayah, Kapan Pulang?"

206 42 33
                                    

— RANGKAIAN BAHAGIA —

"Ayah, kapan pulang?"

"Kenapa Ayah membiarkan aku tinggal dengan mereka?"

"Kenapa Ayah meninggalkan aku dengan orang-orang yang bahkan tidak aku kenal?"

"Ayah, bicaralah."

Panggilan terhubung, tetapi Sinb tidak mendapatkan respon sama sekali dari Sang Ayah. Dia terus berbicara, dia terus bertanya-tanya, tetapi Ayah Nam tak memberikan respon sama sekali. Entah dengan siapa Sinb berbicara sebenarnya, tapi dia percaya Ayah Nam akan meresponnya.

"Ayah~"

"Ya?"

"Kenapa tidak bicara?"

"Suara Ayah masih belum stabil, masih tidak enak badan."

Sinb mengerucutkan bibirnya, ia mulai mengambil posisi duduk dan menyandar pada kepala ranjang. Kakinya ia biarkan menjulur di balik selimut, sudah menjadi aktivitas sehari-hari duduk di ranjangnya. Mulai besok kembali lagi ke sekolah, mengingat kondisinya perlahan membaik.

"Kalau begitu, kapan Ayah akan pulang?"

"Nanti."

"Ayah tahu? Aku muak dengan kepalsuan yang diberikan oleh wanita itu."

"Coba berdamai, bisa?"

"Tidak. Sampai kapan pun aku tidak akan bisa berdamai dengan mereka, aku bahkan tidak mengenal mereka."

Entah akan sampai kapan permainan ini berlangsung, Sinb benar-benar menganggap bahwa seseorang di seberang sana adalah Ayah Nam. Padahal, seseorang di balik telepon tersebut merupakan sahabat Nam Seongwoo—Minhyun.

Ketukan pintu terdengar, Sinb lantas memutus panggilan itu. Sowon yang membuka pintu, ia datang dengan nampan berisi sepiring makan siang serta segelas air. Sowon duduk di tepian ranjang Sinb, menaruh nampan tersebut di atas pahanya.

"Sudah waktunya makan siang," ucap Sowon.

"Aku bisa sendiri," kata Sinb.

"Kurasa mengobati rasa sakit bukan dengan kata maaf." Sowon berucap sembari mengisi sendok dengan nasi. "Beri aku waktu satu bulan, jika aku belum juga berhasil membuat dirimu nyaman, aku akan pergi."

Sinb berdecih, dalam hati sudah menuduh Wanita Shin yang tidak-tidak. Belajar saja dari pengalaman terdahulu, di mana perkataannya begitu menusuk perasaan Sinb.

"Setuju."

"Buka mulutmu."

Sinb terpaku membisu. Satu sendok nasi beserta lauknya itu terulur ke bibirnya, perlahan Sinb menatap mata Sowon untuk memastikan apakah dia benar-benar tulus atau tidak. Dadanya berdebar begitu menatap matanya.

"Ayo, buka mulutmu."

Sekali lagi Sowon membujuk, dan seperti terhipnotis Sinb langsung membuka mulutnya menerima suapan. Sowon tersenyum hangat, ia kembali sibuk dengan makan siang Sinb sementara Gadis Nam mengunyah makanan yang telah masuk.

"Nah, kalau kau makan dengan benar, maka kau akan cepat sembuh."

Tepat ketika Sowon hendak mengulurkan satu sendok lagi, dia melihat air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Sinb menangis, gadis itu langsung saja menyeka air matanya saat Sowon menangkap basah tangisannya.

"Kenapa?" tanya Sowon. "Mengapa menangis?"

"Aku bisa sendiri," kata Sinb.

"Baiklah." Sowon tidak akan memaksa dan berdebat. "Makanlah, jika membutuhkan apa-apa panggil saja Ibu, ya? Ibu ada di luar."

Rangkaian BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang