"Tidak Akan Pernah!"

291 36 20
                                    

— RANGKAIAN BAHAGIA —

"Dia benar-benar melakukan hal gila itu."

"Gila."

"Brengsek!"

"Aku tidak akan pernah memaafkannya!"

"Tidak akan pernah!"

Benar. Peluru itu mendarat sempurna di tubuh satu orang, tiga peluru sekaligus. Kondisinya kritis saat ini, setelah tiga peluru itu berhasil dikeluarkan dari raganya, ia langsung dilarikan ke ruang ICU agar mendapat perawatan yang lebih lengkap.

"Sialan!"

"Brengsek!"

"Aku tidak akan memaafkan mu, Choi Jongin!"

Sowon menggeser posisi duduknya hingga lebih dekat dengan Jisoo, ia memberanikan diri merangkul bahu Jisoo untuk menenangkannya dari rasa shock atas peristiwa nahas yang menimpa putri satu-satunya itu. Nam Sinb tertembak tiga kali, pelurunya berhasil mendarat di tubuhnya hingga ia harus kembali masuk ke ruang operasi untuk pengangkatan peluru.

"Seharusnya tidak aku temui Putriku saja, biarlah dia hidup dengan kepalsuan itu, biarlah dia tahu Ibunya yang sialan ini tiada!"

"Sinb akan baik-baik saja."

Sowon merengkuhnya, menarik Jisoo ke dalam pelukannya. Sowon tahu bagaimana perasaan Jisoo saat ini, dia pasti sedih menerima kenyataan bahwa putri satu-satunya itu harus berada di ruang ICU. Konon katanya, pasien yang keluar dari ruangan tersebut jarang yang masih bernyawa.

"Aku memang bodoh, aku tahu dia akan membunuh Putriku jika aku menemuinya, tapi kenapa aku tetap menemuinya, argh!!!"

Jisoo marah pada dirinya sendiri, ia menangis sesenggukan menghadapi situasi saat ini. Jemarinya meremas rambut hitam panjangnya, beruntunglah Sowon bergerak cekatan menjauhkan Jisoo dari tindakan menyakiti diri sendiri. Sowon peluk Jisoo erat-erat, Sowon tenangkan Jisoo melalui pelukannya yang sederhana ini.

"Kau tahu?"

"Aku tidak mungkin tega meninggalkan Putriku begitu saja kala itu, tetapi aku masih ingat ancaman Si Brengsek itu!"

"Dia bilang, dia tidak akan segan membunuh Putriku Sinb jika aku tidak ikut pergi bersamanya."

"Kau tahu bagaimana dia, bukan?"

Sowon mengangguk setuju, dia yang pernah menjadi istri Jongin jelas tahu bagaimana sifat pria itu. Meski tak begitu mengenalnya, tapi sebagai istri, Sowon tak mungkin tidak diam-diam memperhatikan sikap Choi Jongin.

"Seharusnya aku tidak menemui Sinb seumur hidupku, bukan?"

"Sudah cukup, menyesal tidak akan mengubah apapun," kata Sowon.

Pelukan di antara mereka berdua perlahan merenggang, Sowon dapat melihat adanya ketakutan di raut wajah Jung Jisoo yang dibasahi dengan air mata.

"Aku menyayangi Sinb, Sowon," ungkap Jisoo gemetar. "Tapi pria itu akan membunuh Sinb jika aku menemui Sinb, dan dia melakukannya sekarang~" isak Jisoo.

Sowon menepuk kedua bahu Jisoo, ia menengadah guna menahan air mata yang pada akhirnya tetap mengalir juga. Sowon belum ganti baju, bercak darah dari tubuh Sinb mulai mengering di sana, sebegitu gilanya tembakan itu mengenai tubuh Sinb.

"Dia gila, tapi aku harus lebih gila lagi supaya Putriku selamat dari amukannya!"

"Hei, tenangkan dirimu."

Jisoo bernapas dengan tidak beraturan, ia sudah lemas membayangkan bagaimana peluru itu mengenai tubuh putrinya, ditambah lagi bayang-bayang akan operasi pengambilan peluru yang pasti menyakiti tubuh putrinya. Oh, jangan lupakan bekas operasi di dada sebelah kirinya, fisik Sinb terlalu banyak menerima luka.

"Jisoo?"

"Jung Jisoo?"

"Kau mendengar ku?"

Sowon khawatir, ia menoleh ke belakang dan saat melihat seorang suster segera memanggilnya minta bantuan. Melihat Jisoo bernapas tak beraturan membuat Sowon cemas bukan main.

"Sinb akan baik-baik saja, Jisoo," ucap Sowon. "Yakinkan itu, katakan hal baik untuknya, aku juga berharap Sinb baik-baik saja, dia harus bahagia."

"So-won, to-long, jaga S-sinb, u-untukku, y-ya?"

Sowon menggelengkan kepalanya. "Bahagianya ada pada dirimu, jangan bicara yang tidak-tidak."

— RANGKAIAN BAHAGIA —

"Aku iri pada Sinb."

Vernon dan Seungkwan menoleh. Keduanya tidak pergi dari gedung rumah sakit setelah peristiwa nahas itu, mereka bertahan di atap rumah sakit sampai larut malam tiba. Langit yang biru sudah gelap sekarang, meski begitu ada bulan dan bintang yang menghiasinya.

"Perhatian Ibu jadi terbagi."

"Aku mengerti perasaanmu," ucap Seungkwan.

"Tapi, hal yang paling membuatku iri adalah, pengorbanan Ayah Nam untuk Sinb," beber Umji. "Aku tidak pernah merasakan kasih sayang sedahsyat itu dari seorang ayah."

"Itu karena kau tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari Ayahmu," ucap Vernon. "Dari kecil kau selalu dimarahi Ayahmu, kan?"

Umji mengangguk.

"Sekarang bagaimana dengan Sinb, ya?" cemas Seungkwan. "Aku masih ingat bagaimana darah itu mengenai wajahku, aku masih ingat bagaimana Sinb tak berbicara lagi setelah ditembak tadi."

Seungkwan melihat dengan jelas, dia bahkan berada di hadapan Sinb yang apabila tidak berlutut mungkin punggungnya yang menjadi korban. Serius, andai Seungkwan tak berlutut memohon ampun pada Sinb, maka dialah yang akan terkena tembakan itu.

"Ayo turun!" ajak Vernon. "Siapa tahu sudah ada kabar baik."

"Aku tidak akan pulang," ucap Seungkwan. "Aku akan menginap malam ini, menunggu sampai Sinb bangun."

"Bagaimana cara kau memberitahu orang tuamu?"

Seungkwan mengangkat kedua bahunya masa bodoh, ia beranjak berdiri lebih awal dan bergegas masuk ke gedung rumah sakit lagi. Masih terbayang di benak pikirannya, bagaimana tembakan itu mengenai tubuh Sinb yang sedang berusaha pulih dari lukanya.

Umji dan Vernon berjalan di belakangnya, menatap punggung Seungkwan.

Sesampainya di ruang tunggu depan ICU, ketiganya berdiri sejajar menghadap pada kaca besar yang memperlihatkan Sinb tengah berbaring di sana. Peralatan medis benar-benar menempel sempurna di sekujur tubuhnya, dia pasti kesakitan menerima semua itu.

"Bagaimana jika Sinb tidak bangun lagi?" tanya Seungkwan. "Tidak, kan?"

Umji meraih tangan Seungkwan yang menganggur, ia menggenggamnya memberitahu bahwa semua akan baik-baik saja. Meski dalam pikiran Umji pun terbesit keraguan akan kembalinya Sinb pada kondisi seperti semula.

"Umji yya."

Umji menoleh. "Ibu."

"Seungkwan, Vernon, sebaiknya kalian berdua pulang," saran Sowon. "Ini sudah larut malam, kalian pasti dicari orang tua kalian."

"Kalau Sinb sudah bangun, kabari aku," kata Seungkwan. "Kapan pun itu, segera kabari aku."

Sowon tertawa kecil dibuatnya, ternyata Sinb punya sahabat sebaik pemuda itu. Seungkwan benar-benar tidak mau ketinggalan kabar baik dari Sinb, sampai-sampai dia minta kepada Umji agar dikabari kapan saja.

"Di mana Ibu Jisoo?" tanya Umji.

"Sedang beristirahat," jawab Sowon. "Apa kau sudah makan, Umji?"

Umji menggelengkan kepalanya, ia selangkah maju mendekati Sang Ibu.

"Ibu, aku mau disuapi."

Sowon mengernyit bingung, mengapa Umji tiba-tiba manja?

"Suapi aku, ya, Bu?" pinta Umji. "Kalau tidak disuapi, aku tak akan makan, deh."

"Baiklah, ayo ke kantin sekarang."

Tak ingin Umji kelaparan semalaman, maka Sowon memutuskan untuk menuruti kemauannya. Lagipula hanya minta disuapi, hal yang mudah Sowon lakukan, sudah lama juga Sowon tidak menyuapi Umji.

— RANGKAIAN BAHAGIA —

Rangkaian BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang