— RANGKAIAN BAHAGIA —
"Bagaimana cara lebih dekat dengan anakmu yang begitu asing dengan dirimu?"
Seongwoo bertanya pada rekan seperjuangannya—Minhyun. Dia sudah cukup jauh dengan putri kandungnya sendiri, bahkan terkadang ketika bertemu bisa canggung.
"Oh ayolah, kau masih belum dekat dengan Putrimu?"
Seongwoo menggeleng, ia menyeduh kopi hangat yang dipesannya sebagai teman mengobrol siang ini. Belajar dari kedekatan Minhyun dengan anak-anaknya, Seongwoo ingin menjadi ayah yang baik untuk putrinya.
"Hari itu aku bekerja cukup keras, memperbaiki ekonomi keluarga yang turun drastis, sampai lupa kalau aku punya seorang anak perempuan."
"Aku pergi ke luar negeri, saat pulang Putriku sudah berjalan, aku pergi lagi, saat pulang Putriku sudah masuk TK."
"Aku kehilangan banyak momen bersama Putriku sendiri, dan saat ada kesempatan aku ... begitu canggung untuk memulai, karena Putriku sudah besar sekarang."
Minhyun manggut-manggut paham, dia mengenal sekaligus menjadi saksi betapa kerasnya Nam Seongwoo bekerja pasca ditinggalkan istrinya. Terkadang dia pulang sebulan sekali, bahkan pernah waktu itu dia tak pulang selama enam bulan penuh. Dia menyibukkan dirinya, menghindari rasa sakit pasca ditinggal istri tercintanya, sampai lupa jika ia bertanggung jawab atas pertumbuhan anaknya—Nam Sinb.
"Tunggu, tidakkah wanita itu seperti Sowon?"
"Di mana?"
"Di sebelah sana."
Seongwoo memicingkan matanya, setelah pasti, ia beranjak. Minhyun melipat bibirnya menahan tawa, tindakan cepat Seongwoo sungguh membuatnya tergelitik.
"Dia terlihat akrab dengan pria itu," goda Minhyun. "Astaga, aku lupa kalau sahabatku ini tidak benar-benar mencintainya."
"Benar juga." Seongwoo kembali duduk.
"Apa kalian pernah tidur bersama?" tanya Minhyun. "Wah, jangan-jangan kalian sering tidur bersama, ya?"
"Diam!"
"Kau begini kalau sedang cemburu, apakah sekarang kau cemburu?"
"Tidak."
"Lihatlah, mereka tertawa di sana."
"Diam!"
Minhyun terbahak, dia menepuk-nepuk bahu Seongwoo sebelum pada akhirnya tawa itu mendadak berhenti.
"Lihatlah, dia pegang tangan Sowon."
"Sungguh?!"
— RANGKAIAN BAHAGIA —
"Memangnya siapa yang mau berteman denganmu?" tanya Sinb. "Kalau bukan karena Ayahku, kau tidak akan bisa sampai di sekolah ini."
Umji hanya bergeming.
"Yak, lihat aku! Katakan padaku kalau Ibumu adalah penggoda, Ibumu adalah—"
"Jangan mengganggu Umji-ku."
Vernon tiba dengan pembelaannya, ia benar-benar membuat terkejut siapa pun yang berada di sana. Benarkah yang dikatakan olehnya?
"Lagipula kenapa?" tanya Vernon. "Ayahmu tidak keberatan mengeluarkan biaya untuk Umji, lagipula Ayahmu sekarang Ayahnya Umji juga."
Sinb mencengkram kerah baju Vernon, ia mendorong sedikit dada pemuda itu hingga dia mundur selangkah dari tempatnya. Umji beranjak, tepat ketika ia hendak melepaskan tangan Sinb dari kerah baju Vernon dia dihempas kasar. Tubuhnya terjatuh membentur meja.