— RANGKAIAN BAHAGIA —
Sinb jadi pendiam.
Sudah satu pekan sejak Ibunya pergi dari rumah, sikapnya menjadi dingin. Dia makan secara teratur, dia sekolah seperti seharusnya, dia juga tidur sesuai dengan waktunya. Namun, setiap kali ditanya dia tidak pernah menjawab, setiap kali ditegur tak merespon. Suaranya hilang.
Umji menepuk bahu Sinb, menyadarkan Sinb dari lamunannya.
"Maaf jika aku lancang masuk ke kamarmu," sesal Umji. "Di luar Ibu dan Dokter Lee sudah siap untuk pergi."
Sinb hanya bergeming.
"Kita pergi berkemah, menyambut akhir pekan, katanya Dokter Lee akan libur dua hari."
Sinb masih bergeming, kemudian ia melirik jemari Umji yang berada di bahunya. Apakah diamnya akan segera berakhir?
"Kau ikut, kan?" tanya Umji. "Kalau tidak ikut, acaranya tidak jadi."
Sinb menoleh, menatap Umji.
"Tidak ada yang akan meninggalkanmu sendirian di sini, jadi kalau ke mana-mana harus mengajakmu, begitu kata Ibu," tutur Umji.
Sinb masih menahan suaranya, ia bahkan segera mengalihkan atensinya ke lain arah, tak lagi menatap Umji. Cukup lama Umji menunggu, sampai ketika Umji hendak pergi tiba-tiba saja Sinb mencekal lengannya.
"Jangan tinggalkan aku."
Suaranya kembali. Akhirnya, setelah satu pekan tak mendengar suara Sinb, kini Umji berhasil memecah keheningan pada dirinya. Binar di mata Umji timbul, maka detik itu juga Umji berbalik dan memegangi kedua bahu Sinb. Pandangan mereka bertemu untuk waktu yang lama.
"Jadi Nam Sinb yang pedas lagi saja, yang kata-katanya bikin sakit hati, jangan jadi Nam Sinb yang diam," kata Umji panjang lebar. "Boleh, kan?"
Sinb mengangguk, ia beranjak berdiri dan tanpa ragu memeluk Umji. Umji sedikit terkejut dibuatnya, mengingat tak pernah Sinb melakukan hal seperti ini, memulai pelukan bukanlah kebiasaan Nam Sinb. Maka untuk memanfaatkan situasi saat ini, Umji balas memeluk Sinb.
"Jangan diam lagi, jangan diam seperti satu pekan ini, jangan buat keheningan di sini, berisik saja." Umji berucap seraya menepuk punggung Sinb. "Kita memang asing, tapi tidak selamanya orang asing itu jahat."
Sinb mengangguk setuju, ia merenggangkan pelukan itu dan berdehem untuk memastikan apakah suaranya masih ada atau tidak. Kalau sampai hilang karena puasa bicara satu pekan, itu sungguh keterlaluan, sih.
"Ayo!" ajak Umji.
"Ke mana?" tanya Sinb. "Di rumah saja, bisa?"
"Tidak mau berkemah, ya?" Umji balik bertanya. "Di sana kita bisa sambil piknik, terus bisa bakar-bakar juga, seru tahu."
"Baiklah."
"Ibu!!!" jerit Umji spontan, Sinb yang berada di depannya saja sampai terperanjat kaget.
Umji tertawa melihat kagetnya Sinb, lalu dia berlari keluar kamar Sinb sambil berteriak kegirangan. Ketika Sinb hendak keluar kamar, Sowon dan Jennie datang menghampirinya, dua perempuan itu berdiri di ambang pintu kamarnya sambil berlomba untuk sampai ke Sinb lebih awal. Akhirnya jatuh juga, saking ributnya mereka ingin paling awal memeluk Sinb.
"Bicaralah!" pinta Jennie.
"Sinb yya, ayo katakan sesuatu," sahut Sowon.
Sinb melipat bibirnya sendiri, ia menggelengkan kepalanya sembari menunjukkan raut wajah mengenaskan.