"Aku Benci Ibu."

249 45 57
                                    

— RANGKAIAN BAHAGIA —

"Kenapa Ibu?"

"Kenapa Ibu, selalu mengutamakan Sinb dibanding aku?"

"Ibu tahu? Aku ini anak kandung Ibu, sedangkan Sinb hanya anak sambung yang bahkan menerima Ibu saja dia tidak mau."

"Tapi, kenapa Ibu lebih menyayangi dia? Kenapa Ibu lebih perhatian padanya? Kenapa?"

Sowon dihadapkan dengan meluapnya emosi Choi Umji. Hatinya tersayat mendengar sejumlah pertanyaan menohok dari putrinya yang merasa tersisihkan. Biar bagaimana pun, selama ini Sowon memang jauh lebih memperhatikan Nam Sinb dibanding putrinya sendiri. Hal itu Sowon lakukan demi Umji juga, demi kelangsungan hidup Umji.

"Aku benci Ibu."

"Umji yya," panggil Sowon.

"Sungguhan, aku sangat membenci Ibu, aku benci sikap Ibu yang gila harta, aku benci semua sifat yang ada pada Ibu!"

"Choi Umji, jaga ucapan-mu."

"Mungkin, dulu bukan Ayah yang jahat, tapi sifat Ibu yang membuat Ayah menjadi jahat."

Sowon hendak meraih tangannya, namun dengan cekatan Umji menangkis. Gadis Choi benar-benar tidak bisa bersabar lagi, dia marah dan kesal karena perhatian Ibunya hampir hilang semua dari dirinya.

"Pada awalnya aku senang melihat Ibu bisa bahagia dengan pria pilihan Ibu, tapi saat tahu akan sesakit ini, aku rasa tidak beda jauh," beber Umji. "Aku tidak mau kehilangan perhatian dari Ibu, aku iri pada Sinb, Bu~"

"Ya ampun, Putriku~"

"Aku iri pada Sinb~"

Pada akhirnya amarah Umji menghilang, berganti dengan isak tangis pilu. Kini Umji berada dalam dekapan Sang Ibu, menumpahkan seluruh rasa sakit di hati yang tak pernah ia ungkap pada Ibunya.

"Kenapa anak Ayah menangis?"

Seongwoo datang dengan pertanyaannya, pria itu mendekat dan mengambil alih Choi Umji dari pelukan Ibunya. Sowon tidak bisa menahan, dia hanya bisa membiarkan agar suatu hari nanti Umji terbiasa dengan ayah barunya. Sowon hanya tinggal menunggu waktu saja, hanya tinggal menunggu hari di mana dia akan merelakan hidupnya pada semesta.

"Anak Ayah harus kuat, anak Ayah jangan cengeng, ya?"

"Tapi Ibu—"

"Mau beli sesuatu, Nak?" potong Seongwoo. "Ayah dengar kau mendapat nilai sempurna di sekolah."

Pelukan itu merenggang, tangis Umji mereda berganti dengan tatapan sendunya pada Pria Nam. Bagaimana dia bisa tahu?

"Kau sangat pintar," ucap Seongwoo.

Umji berhasil merenggut perhatian Ayah Nam, hal itu tentu membuat Sinb sebagai putri kandungnya tidak terima. Seumur hidupnya, Sinb tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah yang sungguh-sungguh. Mungkin kelihatannya Pria Nam berkorban banyak untuk Sinb, tapi dalam masa pertumbuhannya Sinb hanya didampingi oleh pengasuh, yang kini telah mengundurkan diri karena dikontrak hanya sampai usia Sinb sepuluh tahun saja. Selanjutnya, Sinb menjalani hidup sebagai anak kesepian di rumah, ditinggal jauh oleh Ayah Nam.

Ekor mata Umji menangkap keberadaan Sinb, kemudian ia melirik Ayah Nam yang mungkin saja jadi alasan mengapa Sinb berdiri di sana.

"Ayah," panggil Umji. "Aku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah yang seperti ini, terima kasih."

Umji memeluk Seongwoo. Seongwoo yang sebelumnya masih berada di tahap mencoba dekat pun kini rasanya sudah dekat, ia balas memeluk Umji lalu mendaratkan satu kecupan lamat di pucuk kepalanya.

"Jangan bertengkar dengan Ibumu," bisik Seongwoo. "Jangan menyakiti perasaan Ibumu, paham?"

"Tapi Ibu—"

"Memangnya Sinb marah saat Ayah lebih perhatian padamu?" potong Seongwoo. "Anak pintar jangan cengeng, lagipula nanti Ayah akan beli hadiah untukmu, jika dapat nilai bagus lagi Ayah beli lagi hadiah yang banyak."

"Terima kasih, Ayah."

Sowon menoleh ke arah Sinb, ia sadar dengan jemari yang mengepal. Tak ingin Sinb meluapkan amarahnya dan berakhir terkena serangan jantung, Sowon segera berlari menghampirinya.

"Sinb yya," panggil Sowon. "Kau belum tidur, Nak?"

"Berhenti di sana," ucap Sinb. "Aku tidak butuh belas kasihan siapa pun."

Tepat setelah mengatakan itu, Sinb melenggang pergi ke kamarnya, ia menutup pintu kamar dengan kasar sehingga membuat siapa pun cemas padanya. Terlebih Sowon, hidupnya bergantung pada kesehatan Sinb.

Lantas, bagaimana kabar Sinb di dalam kamarnya?

Dia melemparkan sebotol obatnya ke lantai, membiarkannya berserakan karena sudah tidak ingin lagi menahan rasa sakitnya. Ia biarkan dadanya memanas dan sesak, meski pada akhirnya ia memungut botol itu mengambil sebutir obat tersisa di sana. Sinb menggelengkan kepalanya, ia menyandar pada tepian ranjang dengan kaki yang menjulur, air matanya meluruh tak tertahan. Sesak sekali.

— RANGKAIAN BAHAGIA —

Sepasang matanya berkedip. Hal pertama yang dapat Sinb rasakan sekarang ialah kehangatan. Begitu membuka mata, ia mendapati wajah lelah Shin Sowon, ia juga dapat merasakan jika kepalanya sedang tidur di atas lengan Wanita Shin. Apakah semalaman dia seperti ini?

"Selamat pagi," sapa Sowon serak. "Jika kau ingin mati, jangan sekarang, aku belum siap."

Sinb mendorong dadanya, ia beranjak duduk dengan tatapan yang tajam ke arah Wanita Shin. Sowon balas tersenyum, ia turut beranjak duduk sembari mengibas tangannya yang terasa nyeri sebab ia jadikan sebagai bantalan untuk Sinb semalaman.

"Ayahmu membeli obat itu dengan harga yang tidak sedikit, kau tahu?"

"Pergi dari sini."

"Ayolah, jika kau kenapa-kenapa, maka aku yang akan matinya nanti."

"Pergi."

"Mau sarapan di mana?"

Sinb menoleh. Sorot mata tajamnya berubah menjadi sendu, hal itu tentu membuat Sowon yang masih setengah sadar dibuat kebingungan. Apakah Sinb kambuh?

"S-sakit?" tanya Sowon gugup. "K-kalau begitu, Ibu akan panggilkan Dokter Jennie, tunggu sebentar, ya?"

"Pergilah dari rumah ini," ucap Sinb. "Maka aku akan sembuh untuk selamanya."

"Kau sembuh, lalu aku tiada, begitukan?"

Sinb kembali merebahkan tubuhnya, ia membelakangi Wanita Shin yang telah berucap dengan nada rendah itu. Dia meremas seprai melampiaskan rasa sakit di dadanya, air matanya jatuh begitu saja karena menerima fakta jika dirinya menjadi asing di rumahnya sendiri.

Sowon dan Umji tahunya Sinb dimanja dari kecil oleh Pria Nam, padahal kebenarannya Sinb merupakan anak kurang kasih sayang. Dia tumbuh menjadi anak kesepian yang begitu merindukan kematian.

"Kau menangis?"

"Pergi."

Sorot mata Sowon berubah menjadi teduh, dia jadi tidak enak melihatnya menangis pagi-pagi begini. Sowon melangkah mendekati Sinb, saat hendak melihat wajahnya, Sinb dengan cepat berbalik hingga membelakangi Sowon lagi.

"Jangan menangis pagi-pagi begini," kata Sowon sedih. "Baiklah, maafkan Ibu untuk perkataan yang buruknya, Ibu akan menyayangimu dengan sungguh-sungguh."

"Pergi."

"Sinb yya, tapi jika suatu hari nanti Ibu berkorban untukmu, kau tidak boleh menangis atau menyesal, bisa?"

"Pergi~"

"Tidak, Ibu tidak bisa pergi sebelum tangis-mu mereda."

Sowon benar-benar tidak pergi, ia merangkak naik ke ranjang Sinb lagi, mendekap Sinb dari belakang dan berbisik kalimat manis yang diharapkan bisa membangkitkan semangatnya.

"Panggil aku Ibu, meski aku bukan Ibu yang akan selamanya menjadi Ibumu."

— RANGKAIAN BAHAGIA —

Rangkaian BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang