— RANGKAIAN BAHAGIA —
Tidak. Sinb tidak bisa tidur di tenda seperti ini, tubuhnya bisa berakhir sakit akibat dari alas yang tak empuk. Begitu Sinb menoleh, ia mendapati Umji yang berkeringat. Aneh, padahal sudah jelas kalau tidur di tenda begini rasanya dingin, udara di luar terasa sampai ke sini soalnya. Mereka mendirikan dua tenda, yang mana Sinb satu tenda dengan Umji.
"Yak."
Sinb menyenggol lengan Umji.
"Yak, Choi Umji."
Lagi, Sinb menyenggol lengannya.
"Kau sungguh? Aku mau pelukan, dingin sekali, tapi kenapa kau berkeringat begitu?"
"Ayah~"
"A-apa kau bilang?"
"Ayah~"
Suara lirih Umji terdengar memilukan, maka Sinb beranjak duduk untuk memastikannya. Dapat Sinb rasakan suhu tubuh Umji yang naik, mungkin keringat itu bukan berasal dari udara panas, melainkan mimpi buruknya.
"Bangunlah."
"Choi Umji, buka matamu."
"Yak, kau mendengar suaraku?"
"Buka matamu, Choi Umji."
Sepasang mata itu berkedip pelan, merah kelihatannya. Umji menggigit bibir bawahnya sendiri, ia menahan rintihan sakit pasca terbangun dari mimpi buruk.
"K-kau baik-baik saja, kan?" tanya Sinb.
Umji menelan ludahnya dengan susah payah, kemudian ia menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan dari Sinb. Cemas melihatnya begitu, sekali lagi Sinb meraba kening Umji untuk memastikan. Dia benar-benar demam, Sinb tak mungkin salah.
"Aku panggil Ibu, ya?"
"Jangan."
"Kenapa?"
"Jangan ganggu Ibu, Ibu sedang istirahat."
Sinb menghembuskan napas pendek. Jadi, maksudnya tidak boleh mengganggu waktu istirahat Ibu dan boleh mengganggu waktu istirahatnya? Tetapi tidak begitu, Sinb menggelengkan kepalanya menepis ego yang hadir di benak pikirannya.
"Aku takut."
"Kau mimpi buruk, ya?"
"Ayah datang, Ayah datang dengan pistol lalu Ayah membunuh Ibu, Ayah membunuh Ibu, Sinb!"
Sinb meraih tangan Umji, ia menggenggamnya serta sedikit memberi usapan yang membuat ketakutan Umji sedikit berkurang. Dapat Sinb rasakan dinginnya telapak tangan Umji, berbanding terbalik dengan suhu tubuh di keningnya.
"Mimpi," kata Sinb. "Itu tidak akan terjadi, itu hanya mimpi, paham?"
Umji menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak, tidak bisa, mimpi itu terasa begitu nyata, aku takut."
"Umji yya, hentikan," pinta Sinb. "Itu hanya mimpi, tidak akan pernah terjadi ke dunia nyata."
"Aku takut, Sinb."
"Aku di sini."
Benarkah dia Nam Sinb?
Gadis dengan kalimat-kalimat pedasnya itu kini menjadi sesosok yang begitu hangat. Dengan sorot lembutnya, Sinb berusaha meyakinkan Umji untuk tidak perlu takut. Lagipula hanya mimpi, tidak benar-benar terjadi di dunia nyata.
"Aku di sini," ucap Sinb sekali lagi, jemarinya makin kuat menggenggam Umji. "Kau butuh sesuatu? Misalnya, minum atau apa?"
"Lapar."