— RANGKAIAN BAHAGIA —
"Sinb yya, apa mereka benar-benar sedang pergi berdua?"
"Oh ya ampun, benarkah ini?"
"Ibuku, benar-benar tidak pernah mendapatkan momen romantis seperti ini, diajak pergi jalan-jalan hanya berdua dan menginap di hotel berbintang lima."
"Aku tidak percaya ini, Ibuku akhirnya bahagia."
Kedua tangan Sinb mengepal, dia benci ketidaktahuan Choi Umji saat ini. Namun, dia tidak mungkin mengatakan kalau Shin Sowon sebenarnya harus dilarikan ke rumah sakit untuk pengobatan. Kalau Sinb tidak salah, ia mendengar begitu banyak sekali pukulan fisik serta makian dari Pria Choi.
"Kenapa?" tanya Umji.
"Bisakah kita bahagia untuk kebahagiaan orang tua kita, Sinb?"
"Ibuku, tidak pernah tahu bagaimana rasanya benar-benar dicintai oleh pasangannya, Ayah selalu memaki, Ayah selalu bersikap dingin, bahkan Ayah selalu melukai Ibu."
"Jadi, bisakah kau memberikan ruang pada Ibuku?"
Sinb memalingkan pandangannya ke sembarang arah, ia menghembuskan napas kasar dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Agak sedikit nyeri di bagian dada mendengarnya, dia juga ingin menerima tapi Shin Sowon sendiri yang mengatakan jika perhatiannya tidak benar-benar nyata, pun Sinb mengetahui fakta tentang masa mendatang nanti, bahwa Shin Sowon akan mengorbankan hidupnya.
"Tidak," ucap Sinb dengan berat hati. "Aku tidak akan memberikan ruang sedikit pun."
Setelah mengatakan itu Sinb melenggang pergi, meninggalkan Umji yang masih berharap menerima ruang dalam relung hati Sinb. Terdengar pintu kamar yang ditutup cukup kasar, membuat Umji kontan tersentak dan berdebar. Sungguh, Sinb marah?
Umji tertunduk, ia memperhatikan jemarinya yang lentik itu. Selama ini dia hanya tahu ibunya bahagia setelah menikah dengan Pria Nam, melihat momen-momen manis mereka sungguh tak ada pikiran sedikit pun soal adanya kepalsuan. Sebab, Pria Nam begitu baik menutupi kepalsuannya.
Sementara itu, Sinb baru saja merebahkan tubuhnya di ranjang. Dia tidur terlentang sembari memandangi langit-langit kamarnya, ia tersenyum getir.
"Kenapa aku menjadi beban semua orang?"
"Kenapa aku harus sakit?"
"Kenapa aku tidak bisa bahagia?"
"Kenapa seseorang harus berkorban untuk kehidupanku?"
"Kenapa?"
Sebelah tangannya terangkat menutup mata, bahunya bergerak naik turun dengan bibir yang melipat menahan suara. Sinb terisak seorang diri, tanpa ada yang tahu dan tanpa ada yang bisa menenangkannya. Gadis Nam sampai batuk-batuk, begitu beranjak daerah sekitaran matanya sudah basah, baru setelah itu ia berlari keluar untuk menuntaskan batuknya. Darah berakhir di wastafel, jemarinya berpegangan pada tepian wastafel, ia mulai mengangkat pandangannya dan melihat pantulan dirinya di cermin.
"Tidakkah lebih baik aku yang pergi saja?"
"Tidakkah Ibu ingin menjemput Sinb?"
"Sinb tidak mau ibu baru, Sinb mau Ibu, Sinb mau pulang dan bertemu dengan Ibu saja."
Serangan batuk itu kembali menyerangnya, tetapi kali ini disertai dengan batuk darah yang menyebabkan sakit di dada. Sinb tidak tahu akan sampai kapan hidupnya seperti ini.
"Sinb yya, kau baik-baik saja?"
Sinb menoleh ke sumber suara yang terdengar samar, ia berkedip pelan dan menunjuk Umji yang berdiri di ambang pintu kamar mandi sana.