— RANGKAIAN BAHAGIA —
Sowon tidak bisa pergi dari rumah ini, entah sejak kapan Nam Seongwoo mengubah kepemilikan rumah yang mereka singgahi dari Jung Jisoo menjadi Shin Sowon. Kemungkinan besar, Seongwoo mengubahnya secara diam-diam, sebagai bentuk rasa terima kasihnya kepada Sowon yang akan lanjut merawat Sinb setelah ia mendonorkan jantungnya. Sebutlah pergantian kepemilikan rumah menjadi salah satu rencana Seongwoo sebelum dia benar-benar tiada.
Kenyataan yang terungkap itu tentu membuat Jisoo tak menerima. Namun, salahnya sendiri yang memilih untuk berpura-pura tiada, sehingga posisinya tergantikan. Pria Nam sendiri tidak tahu tentang adanya kehidupan Jung Jisoo, ia sama seperti Sinb, dibodohi.
"Ibu mau pergi ke mana?"
"Pulang."
"Sinb ikut."
Jisoo menghembuskan napas pendek, ia menatap tangan Sinb yang memegang lengannya. Tak berselang lama Sinb melepaskan tangannya, sadar maksud dari tatapan Sang Ibu.
"Ubah nama kepemilikan rumah ini menjadi namamu, dan usir mereka pergi dari rumah ini," tutur Jisoo pelan namun nadanya terdengar menekan. "Paham?"
"Bagaimana caranya, Bu?"
"Cari tahu saja sendiri, Ayahmu kalau sudah cinta memang buta, lupa kalau nanti anaknya butuh rumah ini," protes Jisoo. "Sifat Ayahmu menurun begitu banyak kepada dirimu, sama-sama bodoh."
"Ibu." Sinb menahan Jisoo yang hendak pergi. "Sinb ikut dengan Ibu, boleh?"
Jisoo tersenyum picik. "Jangan tinggalkan rumah ini, kau berhak atas rumah ini."
"Sinb tidak mau di sini, Sinb mau ikut dengan Ibu," kata Sinb. "Boleh, ya? Sinb ikut saja dengan Ibu, Sinb akan menurut pada Ibu, Sinb tidak akan merepotkan."
"Sudahlah." Jisoo melepas pertahanan Sinb. "Nanti Ibu ke sini lagi, dan kau harus temukan sertifikat rumah ini agar kepemilikannya berganti."
"Perginya tidak akan lama-lama, kan?"
"Tergantung."
"Ibu," panggil Sinb bernada manja. "Jangan tinggalkan aku sendirian, aku tidak punya siapa-siapa selain Ibu."
"Bisa kau berhenti bicara?" tanya Jisoo. "Menyesal Ibu datang ke sini dan menemui dirimu, sungguhan."
Maka detik itu juga sorot teduh milik Gadis Nam menghilang, hanya kepedihan yang terlihat dari sorotnya saat ini. Hati kecilnya sudah banyak dilukai dengan kepalsuan, ditambah lagi dengan mengetahui kenyataan perihal Sang Ayah, dan kini ia dihadapkan dengan perkataan menyakitkan dari Sang Ibu.
Sowon datang, ia menarik Sinb ke belakang tubuhnya dan dengan berani menghadap ke arah Wanita Jung.
"Kau ingin rumah ini?" tanya Sowon. "Ah, usaha Suamimu bangkrut atau bagaimana? Sampai-sampai kau datang kemari minta sertifikat rumah."
"Jangan kurang ajar pada Ibuku," ujar Sinb. "Bagaimana pun dia berhak untuk—"
"Dia sudah dicerai secara hukum," potong Sowon. "Dan Istri Nam Seongwoo saat ini adalah aku, Shin Sowon."
"Menyebalkan," gumam Jisoo pelan. "Nam Sinb, kau ingin menetap di sini dengan wanita yang bahkan tak kau kenali?"
Sinb menggelengkan kepalanya.
"Rumah ini jelas-jelas harus menjadi milik Sinb, sebab—"
"Milik Sinb atau milikmu?" potong Sowon lagi. "Kau yang ingin rumah ini, benarkan?"
Jisoo terpaku membisu. Sinb hendak melangkah maju, tapi Sowon berhasil menahannya agar tetap di belakang saja. Tak berselang lama, pintu utama terbuka dan menghadirkan Jennie dengan dua kantung plastik di tangannya. Maka saat Jisoo berbalik, dua kantung plastik di tangan Jennie jatuh begitu saja.
"Tidak mungkin."
"Astaga, siapa lagi ini?" Jisoo berucap sembari menghela napas kasar. "Apakah Nam Seongwoo menikahi dua wanita sekaligus?"
"Ibumu bahkan tidak mencaritahu tentang dirimu, Sinb," bisik Sowon. "Seharusnya dia tahu kalau kau sempat berjuang melawan penyakitmu dengan Dokter Lee, benarkan?"
Maka Sinb memegangi lengan Sowon dengan rasa takut dalam dirinya, Sowon menoleh sedikit, memberinya kekuatan agar tak kalah.
"Orang asing tetaplah orang asing, tetapi tidak menutup kemungkinan orang asing akan jauh lebih menguntungkan dibanding orang terdekat," tutur Sowon. "Pikirkan kembali untuk memohon pada Ibumu, Sinb."
"Sudahlah, aku pergi saja dari sini," kata Jisoo.
"Ibu!" panggil Sinb tak mau ditinggalkan lagi. "Ibu hanya satu malam di sini? Ibu, aku masih merindukan Ibu."
"Kau hampir merenggut nyawaku saat aku melahirkan dirimu, dan sekarang kau merenggut nyawa Ayahmu," beber Jisoo. "Bukankah kau terlalu membebani?"
Mungkin benar, bahwa Jisoo datang bukan untuk menemui Sinb, tetapi meminta haknya atas rumah yang dibangun oleh Nam Seongwoo ini. Sebab, dahulu rumah ini sudah atas nama Jisoo, tetapi sekarang nama itu telah berganti.
"Biarkan saja." Sowon menahan Sinb yang hendak mengejar Ibu Jung. "Kau aman di sini, ini rumahmu."
"Tapi Ibu," kata Sinb gemetar.
"Kau ingin meninggalkan semua kenangan di rumah ini?" tanya Sowon. "Kenangan bersama Ayahmu."
Jisoo benar-benar sudah pergi sekarang, wanita itu tidak sedikit pun peduli akan keberadaan Nam Sinb sebagai putri kandungnya. Dia datang hanya untuk menemukan surat rumah ini, kemudian pergi setelah tahu kepemilikannya telah berganti, dari dirinya menjadi Wanita Shin.
"Dia hantu?" tanya Jennie.
"Apakah semua Ibu seperti itu?" tanya Sinb. "Mengatakan kalau anaknya adalah beban karena hampir merenggut nyawanya saat melahirkan?"
"Kau tidak lihat bagaimana aku menyayangi Umji?" sahut Sowon. "Tidakkah kurang bukti tentang seorang Ibu yang begitu tulus menyayangi anaknya?"
"Tapi, kenapa Ibuku berkata seperti itu?"
"Aku tahu, darah lebih kental daripada air. Tetapi, cobalah untuk memahami situasi, lihat siapa yang benar-benar tulus menyayangimu."
Sinb tertunduk. "Tidak ada. Ayah memilih pergi dari hidupku, Ibu juga tak menginginkan aku, Ibu Shin bilang kalau kau hanya berpura-pura, Bibi Jennie selalu sibuk dengan pekerjaannya."
Hening setelahnya.
"Aku sendirian."
"Tidak," sahut Jennie. "Makanya Ayahmu menikahi wanita yang saat ini berada di dekatmu itu, kau tak akan sendirian lagi."
"Ibu Shin tidak benar-benar menyayangiku."
Sowon berbalik, ia menghadap ke arah Sinb untuk meyakinkannya.
"Semua yang Ibu Shin berikan kepadaku itu palsu, Ibu Shin hanya ingin uang Ayah, dan seharusnya Ibu Shin yang mendonorkan jantung untukku saja."
"Sinb yya."
"Benar, seharusnya Ibu Shin yang mendonorkan jantung untukku, bukan Ayah!" tukas Sinb sembari memukul dada Sowon. "Seharusnya Ayah masih di sini, seharusnya kau yang mendonorkan jantungmu untukku~"
Sinb terisak, tubuhnya merosot ke lantai dan ia bertumpu pada kedua lututnya. Sowon yang tidak tega lantas berjongkok, ia mendekap tubuh lemah Sinb untuk memberinya kekuatan. Sinb meronta saat dipeluk oleh Sowon, tetapi Sinb tak bisa melepaskan diri sebab Sowon telah mengumpulkan seluruh tenaganya untuk mendekap Sinb.
"Kenapa Ayahku?"
"Kenapa bukan dirimu saja?"
"Kenapa harus Ayah~"
Sowon makin mendekap Sinb.
"Tidak ada yang cocok di antara kita," bisik Sowon. "Ayahmu yang merencanakan semua itu."
Sinb menggelengkan kepalanya, ia terus memukuli dada Sowon berharap bisa melepaskan sekaligus memberinya hukuman karena telah membodohi dirinya. Dia masih terisak-isak di sana, sungguh menyedihkan kehidupannya.
— RANGKAIAN BAHAGIA —