"Aku Mau Mati Saja."

250 46 43
                                    

— RANGKAIAN BAHAGIA —

"Aku senang bisa punya saudara seperti dirimu."

"Aku bahagia bisa mendapatkan kasih sayang seorang ayah."

"Terima kasih karena sudah menerimaku di rumah ini."

"Sinb yya, apa kau merasakan hal yang sama denganku?"

Di bangku kayu tua itu, Sinb dan Umji duduk berdampingan. Kalau ditanya siapa orang pertama yang duduk di sana, jawabannya adalah Sinb. Sebelumnya Sinb tidak mengizinkan Umji untuk duduk di sampingnya, meski pada akhirnya Sinb berbagi bangku dengan Umji juga.

"Kau tahu?"

"Aku tidak pernah bahagia selama hidup di rumah lama."

"Ayah yang seharusnya membuatku nyaman berada di rumah, malah membuatku terluka."

"Sebagai seorang anak, kita tidak pernah minta dilahirkan, bukan?"

Sinb bersidekap dada, ekor matanya melirik Umji yang kelihatan terus memandangi langit malam. Penasaran dengan arah pandangannya, Sinb pun mengalihkan atensinya ke atas langit. Bulan bersinar malam ini, dengan bintang-bintang yang bertaburan.

"Jangan benci aku, ya?"

"Aku juga mau bahagia."

Sinb beranjak berdiri, ia menatap Umji yang masih duduk di sana sembari memandangi langit malam. Entah semenarik apa bulan malam ini, sampai-sampai membuat pandangan Umji terus padanya.

"Ayo berdamai."

Barulah Umji menatap ke arah Sinb, ia dengan berani mengajak Sinb untuk berdamai. Biar bagaimana pun, untuk hari-hari berikutnya mereka akan terus bersama-sama, tinggal serumah sampai bertemu dengan pasangan masing-masing.

"Aku ingin berdamai," kata Umji. "Aku ingin punya saudara yang bisa diandalkan, dan aku ingin menjadi saudara yang bisa diandalkan."

"Jangan harap," ketus Sinb.

Sinb melengos pergi setelah mengucapkan itu, meninggalkan Umji yang masih duduk di bangku tersebut. Langkah Sinb terhenti ketika dadanya berdebar, panas di sana dengan sesak yang tiba-tiba menyerangnya, ia sampai berkeringat dingin.

"Sinb yya, aku harap kita bisa berdamai dan menjadi saudara yang akrab."

Umji menoleh, ia mengernyit melihat Sinb yang membungkuk dan terdengar deru napas tak beraturan. Detik berikutnya Umji beranjak dari bangkunya, dia berlari menghampiri Sinb dan memegang kedua lengannya.

"Ada apa denganmu, Sinb?"

"Lepas."

"Mengapa kau pucat sekali?"

"Lepas."

"Ibu!!!"

Umji berteriak, mendatangkan Sowon yang kebetulan sedang menonton film. Begitu melihat kondisi Sinb, Sowon segera menggendongnya, membawanya ke kamar dan memberikannya obat pereda nyeri. Obat itu bekerja dengan cepat, dosisnya juga makin meningkat, raga Sinb begitu kuat menerimanya.

"Bagaimana ini bisa terjadi?"

Sowon benar-benar khawatir. Ia membelai wajah Sinb, mengelap peluh di dahinya yang masih tersisa. Sowon belum membuat anak-anak bahagia, dia tak ingin tiada sebelum mereka berdua berdamai.

"Malam ini, Umji tidur bersamamu, ya?" kata Sowon.

"Tidak perlu," tolak Sinb.

"Kau ingin mati?" tanya Sowon bernada menantang. "Umji akan menemanimu, dia bisa membantumu jika kau membutuhkan sesuatu."

Rangkaian BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang