1. Sah

1.7K 240 58
                                    

Langit berisi mendung tebal, hujan semakin deras disertai petir, suara rintikan menenggelamkan keheningan hingga tak ada yang bicara.

Motor di luar kehujanan, gubuk tengah sawah untuk mereka berteduh, tapi jerami tua itu tak kuat menahan hujan hingga bocor di berbagai sisi, Qafiya harus bergeser jika tidak ingin terkena tetesannya.

Gadis itu menoleh ke samping, Qaishar tidak mengajaknya mengobrol sama sekali, dia malah sibuk membuka kitab kecil dan menghafalkan isinya. Mungkin sedang muraja'ah.

Qaishar sudah selesai mondok dan kuliah, minggu depan dia akan boyong. Sementara Qafiya masih terjebak di pesantren dan tak tahu kapan bisa keluar.

Gadis itu mendesah berat, andai ayahnya tidak meninggal, tentu dia bisa menolak perjodohan dengan Gus. Cita-citanya menjadi dokter, tapi tak ada yang bisa dia lakukan.

"Kayaknya hujannya sampai malem," ucap Qafiya.

Qaishar tidak menanggapi, tetap berada di pojokan dengan kitab kecilnya.

Pemuda tampan idola pondok pesantren Nurul Musthofa itu terkenal dingin, memberi tumpangan pada Qafiya saja enggan andai tadi tidak didesak.

Mobil yang dikendarai Qafiya mogok, ditambah jembatan putus karena banjir bandang, Kang Dar meminta bantuan Qaishar yang kebetulan pulang dari kampus untuk memberi tumpangan pada Qafiya.

Mereka lewat jalan memutar, persawahan yang jauh dari perumahan warga. Sayangnya hujan kembali turun dengan deras hingga membuat kedua insan itu terjebak di gubuk tua.

"Kalau gak reda sampai pagi gimana?" tanya Qafiya.

"Kamu mau menerobos hujan?" Qaishar menoleh.

Di sini rawan banjir, sekarang sudah lewat isya, Qafiya takut. Namun, bermalam dengan seorang pria bukanlah pilihan yang bagus. Apa kata orang nanti?

"Kamu emang berani nerobos hujan?" tanya Qafiya balik.

Qaishar menutup kitabnya, dia merangkak dan membuka pintu, hujan angin mengenainya hingga ia buru-buru menutup pintu itu kembali.

"Hujan angin, bisa jadi ada angin puting beliung di depan. Tapi kalau kamu mau nerobos, gak papa."

Sekarang Qafiya ragu, gadis itu membasahi bibirnya. Perjalanan ke pondok masih satu jam lagi.

"Hubungi orang pondok saja kalau kita di sini, biar mereka jemput pakai mobil. Tapi hapeku gak ada sinyal."

"Sama, punya saya juga gak ada."

Mereka kembali terdiam, menunggu hujan reda adalah pilihan terbaik. Qaishar tidak tidur sama sekali, setelah shalat isya dia mengulang hafalannya.

Lalu jam tiga pagi dia membangunkan Qafiya, hujan telah reda. Mereka keluar dari gubuk, kembali melanjutkan perjalanan melewati tanah yang becek.

Sesampainya di pondok subuh, banyak pasang mata melihat mereka dengan heran, calon istrinya Gus dan sahabat Gus berboncengan motor.

"Makasih tumpangannya," ucap Qafiya memberikan helm pada Qaishar.

"Sama-sama."

Mereka pikir tatapan orang-orang hal biasa, Kang Dar pasti akan menjelaskan pada orang-orang bahwa kemarin dia yang minta Qaishar memberi tumpangan.

Hari itu Kang Dar belum kembali ke pondok karena harus memperbaiki mobil di bengkel, tidak ada saksi untuk penjelasan Qafiya setiap ditanyai. Begitu juga Qaishar.

Rumor menyebar tanpa bisa dicegah, saat sore harinya Kang Dar kembali, penjelasannya tidak bisa membuat rumor itu surut. Banyak yang salah paham.

Hingga berita itu sampai di telinga Pak Kyai, beliau memanggil Qafiya dan Qaishar. Juga wali Qafiya yakni ustadz Yusuf yang merupakan paman Qafiya.

"Kamu bikin malu saja," ucap ustadz Yusuf.

"Bikin malu gimana? Kemarin kan kejadian yang gak bisa dihindari." Protes Qafiya.

Mereka menunggu kedatangan Pak Kyai di ruang tamu.

"Seharusnya kamu jalan kaki dari pada dibonceng pemuda yang bukan mahrammu!"

"Enak banget Paman ngomong gitu, emang dipikir gak jauh apa. Kalau mobil gak mogok, aku juga gak mungkin numpang. Lagian yang nyuruh numpang juga Kang Dar."

"Kamu itu banyak alasan, seharusnya kamu tahu diri, kamu itu calon istrinya Gus. Jaga sikapmu, jaga nama baikmu. Sudah dikasih enak dijodohkan sama Gus malah bikin ulah."

Tangan Qafiya mengepal, memang siapa yang mau menikah di usia 18 tahun seperti ini? Merelakan cita-cita hanya karena wasiat dari ayahnya.

"Siapa yang seneng nikah sama Gus? Kalau bisa milih, aku gak mau nikah sama Gus dan membusuk di sini selamanya!" Teriak Qafiya hingga tamparan keras mendarat di pipinya mulus.

Plak!
Paman menampar dengan keras, membuat Qaishar yang sedari tadi diam terkejut.

"Anak gak tahu diuntung! Kamu itu yatim! Ibumu nikah lagi dan sekarang gak punya siapa-siapa, seharusnya kamu bersyukur bisa tinggal di sini dan jadi calon istri Gus!"

"Memang kenapa kalau aku yatim? Apa aku gak punya hak nentuin hidupku sendiri? Jujur saja, aku gak mau nikah sama Gus Fadil! Aku juga terpaksa tinggal di sini dan nurutin keinginan Paman!"

Mendengar itu paman terdiam, Pak Kyai dan Gus Fadil yang baru datang juga terdiam mendengar kalimat Qafiya.

"Sekarang apa maumu?" tanya Paman pelan.

"Aku pingin bebas!"

"Paman gak akan melepas mu sebelum kamu menikah!"

"Aku mau nikah tapi gak sama Gus Fadil! Aku gak mau terjebak di sini selamanya!"

Sebenarnya ada alasan lain yang membuat Qafiya enggan menikah dengan Gus Fadil, yakni Gus Fadil sendiri sudah memiliki wanita pujaan. Hanya saja tidak direstui karena asal usul wanita itu adalah anak wanita penghibur. Tidak memiliki nasab dan tidak jelas siapa ayahnya.

Padahal dia gadis yang baik, Qafiya kenal dekat karena mereka satu kamar. Gus Fadil sering mengirimi gadis itu surat hingga tak sengaja Qafiya membacanya.

"Kalau kamu bilang dari awal tidak mau menikah dengan putra saya, maka saya tidak akan memaksa." Ungkap Pak Kyai, maju di antara mereka.

Qafiya membasahi bibirnya, dia tahu keinginannya mengecewakan semua orang.

"Nama baikmu sudah rusak karena bermalam dengan pria, lalu kamu tidak mau menikah dengan Gus Fadil, Paman sungguh tidak sanggup lagi mengurus kamu."

Paman tampak sangat kecewa, beliau beralih ke Qaishar yang sedari tadi hanya diam tak ikut campur.

"Saya minta padamu, tolong bawa ponakanku pergi, saya tidak mau menanggung anak pembangkang ini lagi." Paman bicara pada Qaishar. "Nama lengkapnya Qafiya Asyarani Fayra binta Abdul Aziz."

Paman mengulurkan tangan pada Qaishar, pemuda itu tampak kebingungan.

"Kamu bawa uang berapa?"

"Cuma lima ribu Pak Ustadz," jawab Qaishar sembari mengeluarkan uang lima ribu rupiah dari kantong baju koko panjangnya. Dia belum mengerti maksud Pak Ustadz.

Uang itu segera diambil paman, "segini cukup. Saya izin menikahkan mereka sekarang juga Pak Kyai, tolong jadi saksi."

Pak Yusuf segera mengambil tangan Qaishar. Pemuda itu tampak kebingungan.

"Kamu harus bertanggung jawab atas Qafiya karena menghabiskan malam bersama."

"Tapi kami nggak--"

"Saya nikahkan engkau Qaishar Restu Wiratama dengan ponakan saya Qafiya Asyarani Fayra binta Abdul Aziz dengan Mas kawin uang lima ribu rupiah dibayar tunai."

Wajah Qaishar langsung pucat, dia menoleh ke Pak Kyai, guru yang sangat dia hormati itu mengangguk, menandakan merestui pernikahan mereka. Membuatnya sangat terpojok, dia diminta bertanggungjawab atas hidup Qafiya yang membangkang.

Qaishar menarik napas, dia hanya bisa menuruti dua guru yang sangat dia hormati tersebut.

"Saya terima nikahnya Qafiya Asyarani Fayra binta Abdul Aziz dengan mas kawin tersebut tunai."

Paman menoleh ke Pak Kyai dan Gus Fadil. Mempertanyakan keapsahan ijab kabul ini.

Bersambung

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang