3. Dia Kaya?

823 125 15
                                    

Qafiya pikir Qaishar adalah orang yang dingin, benar pemuda itu sangat cuek dan bicara seperlunya saja. Dia merasa bersalah karena membuat Qaishar terlibat dalam urusannya.

Namun bagaimana? Semua sudah terlanjur. Mereka sudah keluar dari pondok, menyesal pun percuma. Paman sudah lepas tanggung jawab. Dia juga tidak bisa pulang ke rumah, setelah Papa meninggal. Rumah itu disita bank.

Lalu Mama menikah lagi dan menitipkannya pada paman, menagih janji bahwa Qafiya dijodohkan dengan Gus Fadil. Mama tidak mau tahu tentangnya lagi, beliau sudah bahagia dengan keluarga barunya. Terakhir Qafiya dengar Mama baru melahirkan.

Di usianya yang ke 18 tahun, dia punya adik tiri. Tak ada yang bisa diharapkan dari Mama. Sekarang dia benar-benar sebatang kara. Kalau Qaishar juga meninggalkannya, dia benar-benar tidak punya siapa-siapa lagi.

"Nak Qafiya," panggil nenek.

Gadis itu berbalik, melihat wajah tua renta di balik hijab putih.

"Iya, Nek."

Nenek memegang kedua tangan Qafiya, beliau mengulum senyum.

"Nenek titip Qaishar, dari kecil dia selalu kesepian, pergi dari satu tempat ke tempat lain. Nenek harap sekarang kamu bisa menjadi tempatnya pulang."

"Tapi hubunganku dengan Qaishar gak kayak gitu, dia juga gak suka sama aku."

"Rasa suka dan cinta bisa hilang, tapi rasa tanggung jawab Qaishar ke kamu tidak akan pernah hilang."

Namun, bukan rasa seperti itu yang Qafiya inginkan untuk membuat Qaishar tetap berada di sisinya.

Sebagai murid yang diamanahi Kyai dan ustadz, tentu Qaishar akan menjalankan tugasnya dengan baik. Hanya saja hati nurani dan rasa malu menyelimuti Qafiya setiap berhadapan dengan Qaishar.

"Sekarang istirahatlah, besok kalian harus ke Jakarta."

Rumah sederhana di pinggiran kota Malang itu sangat nyaman hingga Qafiya berharap bisa tinggal di sana saja.

Untuknya yang tidak punya apapun dan siapapun, ia sangat menginginkan rumah untuk pulang.

Kamar yang ditempati tasnya sudah ditutup rapat, mungkin Qaishar tidur di sana, ia hendak pergi tanya pada nenek apakah ada kamar lain. Tapi pintu itu tiba-tiba terbuka. Menampilkan Qaishar yang memakai sarung.

"Mau ke mana?"

"Mau tidur."

"Udah sholat isya?"

Qafiya menggeleng.

"Wudhu sana, kita jamaah."

Qaishar pergi duluan ke kamar mandi, mengambil wudhu. Qafiya mengikuti dari belakang, menunggu pria itu selesai membasuh wajahnya dengan khusyuk.

Selesai wudhu, Qafiya masuk kamar. Sudah ada dua sajadah yang tergelar. Satunya ditempati Qaishar yang duduk menghadap kiblat.

Sebenarnya Qafiya bukan gadis penurut, tapi dia tahu diri. Sekarang dia hanya punya Qaishar dan bergantung padanya dalam segi apapun.

Tidak punya uang, rumah dan keluarga. Walaupun dia pernah menghasilkan uang saat jadi model iklan, tapi uang itu dibawa ibunya pergi tanpa memberinya sepeserpun.

Dia harus segera ke Jakarta dan menghasilkan uang lagi. Dia harus bertanggung jawab pada Qaishar yang merelakan mimpi karena ulahnya.

"Udah siap?" tanya Qaishar menoleh ke belakang, melihat Qafiya yang sudah memakai mukena.

"Udah."

Qaishar berdiri, keningnya berkerut dan mendekat. Dia sedikit menunduk lalu membenarkan mukena Qafiya yang miring hingga rambutnya sedikit terlihat.

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang