11. Lelah

507 103 37
                                    

"Apa yang Mama lakuin di kamarku?" tanya Qafiya membuka pintu tiba-tiba.

Mama sampai berjingkat, kedua adiknya menoleh, termasuk adik perempuan yang senang mengacak-acak meja rias.

"Mama cuma beresin kamarmu, kamu udah belanja, sini Mama aja yang masak."

Mama segera menghampiri Qafiya, mengambil barang belanjaannya. Berlalu ke dapur tanpa rasa bersalah. Sementara adik-adiknya masih berada di kamar itu, membuat berantakan.

"Keluar kalian dari sini!" Bentak Qafiya.

Mereka mengacuhkan Qafiya, bukannya tidak suka anak kecil, hanya saja dia tidak suka anak kecil yang tidak tahu aturan.

Ia segera menarik Eza dan Putri keluar kamar, mereka memberontak dan menangis kencang.

"Gak mau! Mama! Mama!" Teriak Eza. Sementara Putri menangis dan guling-guling di lantai.

Qafiya mencondongkan tubuhnya, menatap Eza yang merah padam.

"Kalau kamu gak mau keluar dari kamarku, kamu harus keluar dari rumah ini, ngerti! Ini rumah ku jadi kamu harus ikuti aturanku!"

Bukannya takut dengan ancaman Qafiya, Eza malah meludahi wajah kakaknya itu.

"Gak peduli, Mama bakal tetap belain aku!"

"Kurang ajar--" Qafiya sudah mengangkat tangan, tapi Mama buru-buru datang dan menarik Eza ke dalam dekapannya. Bocah laki-laki itu pura-pura menangis.

"Kenapa sih ribut-ribut sampai kamu mau mukul adikmu sendiri?" tanya Mama menenangkan Eza.

Qafiya menarik napas panjang, mengelap wajahnya dengan tangan.

"Anak ini kurang ajar, Ma. Dia ludahin aku!"

"Namanya juga anak kecil, maklumin aja kenapa?"

Mendengar kalimat Mama membuat Qafiya semakin kesal.

"Gak! Aku gak bisa maklumin, keluarin dia dari rumahku!"

"Fiya! Dia ini adik kamu!"

"Bodo amat! Aku gak mau liat dia sini!"

Eza semakin menangis.

"Fiya ... Eza ini yatim, bukannya kamu diajarin agama sama Ayahmu buat menyayangi anak yatim?"

Kali ini Qafiya tidak bisa membantah, dua adiknya yatim sama sepertinya. Mungkin memang ujian baginya untuk mendapatkan pahala dengan mengurus anak yatim.

Qafiya berbalik dan masuk kamar, menguncinya dari dalam. Ia sangat kesal tapi tidak bisa apa-apa. Hanya bisa bersabar. Sekarang dia menjadi tumpuan bagi anak-anak itu. Setidaknya dia harus berbaik hati menyediakan tempat berteduh.

Sayangnya, mereka tak juga keluar dari rumah Qafiya meskipun dua bulan telah berlalu.

"Mama keluar dulu, tolong kamu jemput Eza di TK sama urus Putri ya."

"Mama mau ke mana? Aku baru pulang, nanti sore udah harus ke rumah sakit lagi, aku mau tidur, Ma. Aku gak bisa jagain Putri."

"Mama mau cari kerja, kamu mau Mama numpang hidup terus sama kamu?"

Alasannya selalu itu.

"Udah, Mama pergi dulu. Oh ya, uang belanja abis."

"Kok udah habis. Aku kan baru kasih kemarin."

"Eza ada iuran di sekolahnya, kamu kan tahu Eza sekolah di TK internasional. Semua biayanya mahal."

"Kenapa gak pindah aja sih ke TK biasa, aku tu udah susah biayain diri sendiri, masa harus biayain Eza juga."

"Kamu aja dulu TK di tempat bagus, masa adikmu gak. Udah ah, Mama pergi dulu. Oh ya, Mama udah ngambil 500 ribu dari dompetmu buat ongkos."

"Ya Allah banyak banget, uang di ATM  ku udah nipis banget loh, Ma. Nanti kita gak bisa bayar sewa apartemen bulan ini."

"Kamu kan bisa hutang lagi."

Mama pergi begitu saja, sama seperti saat dia kecil, Mama sering pergi meninggalkannya bersama baby sitter. Qafiya mengembuskan napas berat, ia sangat mengantuk tapi harus menjaga Putri yang lari ke sana sini.

Qafiya tertidur di sofa, sampai Putri memecahkan gelas barulah ia terbangun. Anak itu sudah mengacak-acak kulkas. Telur-telur pecah semua, padahal mereka harus berhemat.

Uang tabungan yang diberikan bunda sudah habis, uang kiriman juga menipis. Bayaran sekolah Eza sangat tinggi, belum lagi Mamanya yang selalu minta uang 300-500 ribu sehari. Ditambah susu dan jajannya Eza serta Putri.

Qafiya sampai berpikir untuk kabur saja dari mereka, tapi kalau dia kabur, ibu dan adik-adiknya akan menjadi gelandangan. Dia harus bersabar sampai ibunya dapat pekerjaan.

"Ya Allah Putri, kalau kamu buang-buang makanan kayak gini, nanti kita gak bisa makan."

"Uang kakak kan banyak, bisa beli lagi. Gitu kata Mama."

"Astaghfirullah...." Qafiya mengelus dada sambil berusaha untuk tidak punya pikiran membuang mereka bertiga.

Badan yang lelah itu akhirnya harus membereskan kekacauan yang dibuat Putri, ia juga harus memandikan anak itu serta membawanya untuk menjemput Eza di TK.

Perjalanannya cukup jauh hingga mereka harus naik Transjakarta.

"Lama banget sih?!" Eza marah karena teman-temannya sudah dijemput.

"Masih untung aku jemput, cepat sini!" Bentak Qafiya.

Bocah itu merengut. Dia berjalan duluan. Di jalan Qafiya melihat ponselnya. Berita terbaru, gunung Semeru erupsi. Tiba-tiba dia teringat pamannya, pondok pesantren yang ditinggali paman tidak jauh dari gunung itu.

"Aku mau es krim!" Teriak Eza.

"Aku juga!" Putri mengikuti.

Padahal mereka harus irit, tapi Eza terus merengek dan berteriak. Qafiya harus mengiyakan supaya tidak membuat malu.

Mereka turun satu halte lebih awal, mencari es krim. Tanpa sengaja ia melihat Mamanya sedang makan di restoran bersama teman-temannya.

Mama tidak bekerja seperti yang diceritakan.

"Hari ini giliran aku yang traktir," kata Mama tanpa tahu Qafiya berada di belakangnya.

"Wih, banyak duit."

"Iya donk. Anakku kan calon dokter, uangnya banyak."

Mama mengeluarkan dompet, ada uang 500 ribu tadi.

"Mama!" Putri berlari ke Mamanya. Wanita itu menoleh ke belakang. Melihat Qafiya yang merah padam.

Qafiya menarik Eza mendekat, menyerahkannya pada Mama.

"Urus anakmu sendiri, aku bukan baby sitter."

Qafiya pergi dari sana tanpa memedulikan panggilan Mama, air matanya mengalir, rasa lelah menggerogoti kesabarannya.

Mama tidak pernah berubah sekalipun berganti suami. Qafiya segera membereskan barang-barangnya, ia langsung menjual TV serta kulkas. Menyisakan kompor dan peralatan masak saja.

Mama pulang dan heran melihat ada orang yang mengambil TV kesukaan Eza.

"Kenapa mereka ngambil TV sama kulkas?" tanya Mama.

"Aku mau tidur di mess rumah sakit, kita pisah di sini, aku udah gak ada uang buat bayar apartemen ini lagi. Hasil jual TV sama kulkas silakan Mama gunakan buat ngontrak."

"Kamu marah sama Mama cuma gara-gara Mama makan sama temen-temen Mama?"

"Gak, aku tahu sifat Mama dari dulu kayak gitu. Sekarang aku cuma mau ngasih tahu kalau Mama harus urusin anak-anak Mama sendiri, jangan jadiin mereka kayak aku yang gak pernah ngrasa diurus sama Mama."

Qafiya memasukkan baju-bajunya ke tas, ia langsung pergi dari apartemen itu tanpa menoleh ke belakang lagi.


Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang