21. Penjelasan

535 114 11
                                    

"Gus, candaannya berat," komentar Qafiya.

"Saya gak bercanda, kamu sama Qaishar belum resmi secara negara 'kan? Saya dengar dari Pamanmu setelah kalian keluar dari pesantren kalian berpisah. Kamu kuliah, sementara Qaishar jadi TNI. Lagian, saya yakin kamu bukan tipenya Qaishar."

"Emangnya tipe Qaishar kayak apa?" tanya Qafiya mengimbangi langkah Gus. Dia juga penasaran.

"Dia suka wanita penghafal Al-Quran seperti ibunya atau minimal khatam alfiyah, lalu bercadar atau berhijab syar'i, kamu kan jauh dari tipenya, bahkan sekarang kamu pakai celana." Gus Fadil tertawa tanpa dosa.

Qafiya langsung melihat ke bawah, benar dia memakai celana training. Ah, dia sudah lama tidak memerhatikan penampilan. Kapan terakhir memakai hijab besar atau gemis saja dia lupa.

Dia pikir asal berhijab sudah cukup, lagi pula dia dokter, harus gesit. Tapi dia lupa ini lingkungan pesantren, pasti penampilannya dicela.

"Aku gak pake celana ketat kok, lagian jatuh cinta gak harus pake tipe."

Qafiya berjalan duluan, mengabaikan Gus Fadil yang candaannya keterlaluan. Dia tersinggung, seolah dia tidak pantas untuk Qaishar.

"Eh eh saya kan cuma bicara apa adanya, kenapa marah?"

"Siapa yang marah, lagian gini gini saya juga pantas buat Qaishar!" Qafiya berdengus kesal.

Gus Fadil terus menjelaskan, tapi Qafiya mengabaikan. Hingga mereka sampai di tenda. Kedatangan mereka membuat semua tenaga medis terdiam.

"Ini Gus Fadil anaknya pemilik pesantren ya?" tanya Dokter senior.

"Iya."

"Ada perlu apa?" tanya Dokter Senior itu lagi.

"Saya dengar kalian salah paham dengan Qafiya," ucap Gus Fadil.

Semua orang terdiam.

"Dulu dia calon istri saya, tapi karena bandel pingin jadi dokter jadi saya lepaskan. Lalu kebetulan teman saya ingin keluar pondok, jadi paman dan Abah saya menitipkan Qafiya padanya, jadi mereka dinikahkan secara agama saja. Kebetulan teman saya ini tajir melintir, jadi dia menyedekahkan hartanya untuk membiayai Qafiya yang anak yatim."

Sebenarnya penjelasan Gus Fadil bagus, tapi ada beberapa poin yang membuat Qafiya kesal.

"Tapi katanya dia sama cowok itu kumpul kebo sebelum diusir dari pondok?" tanya Syilfy.

"Ah, itu salah paham. Tipe idaman teman saya tinggi, dia tampan, tajir dan pintar. Gak mungkin tergoda dengan Qafiya yang cuma seperti ini."

Jawabannya juga bagus, tapi lagi-lagi Qafiya kesal.

"Qafiya bilang dia masih berhubungan dengan pria itu, mereka belum putus hubungan." Mario kali ini berbicara.

"Itu mungkin karena Qafiya belum jadi dokter, teman saya masih mau sedekah sampai Qafiya bisa mandiri."

"Qais bilang itu nafkah kok, bukan sedekah. Jangan bicara seolah aku miskin banget," bela Qafiya.

"Tapi kamu memang tidak punya apapun 'kan? Saya dengar dari Pamanmu, rumah orang tuamu sudah dijual untuk modal ibumu nikah lagi. Warisanmu juga habis."

"Ya benar sih tapi --- yah emang aku miskin. Tapi nanti kalau udah jadi Dokter aku bakal bayar semua biaya yang udah dikeluarin Qais kok."

"Jadi nama orang itu Qais?" tanya Mario.

"Loh kalian baru tahu, namanya Qaishar, dia anggota TNI yang berjaga di pos tiga." Gus Fadil menunjuk arah pos tiga.

Semua orang terkejut, pasalnya selama di pengungsian. Qaishar dan Qafiya tidak pernah menunjukkan bahwa mereka suami istri. Hanya beberapa kali pernah terlihat mengobrol saja.

Bahkan saat Mario menyatakan cinta pada Qafiya di hadapan pemuda itu, Qaishar tidak menunjukkan bahwa dia suami Qafiya sedikitpun.

"Tapi saya berharap setelah Qafiya jadi dokter, Qafiya mau kembali ke sini, dia masih diberi kesempatan kalau mau jadi calon istri saya lagi. Pernikahan Qafiya dengan Qaishar belum resmi secara negara."

Kali ini Qafiya melirik tajam, membuat Gus Fadil berdeham.

"Udah jelas kan, kalian gak salah paham lagi. Ayo Gus, aku anter ke gerbang pondok!" Ajak Qafiya.

"Eh, saya masih mau di sini."

"Ngapain?"

"Ya kenalan sama temen-temen kamu."

"Gak perlu! Ayo pergi!"

Gus Fadil akhirnya pamitan, dia diantar juga oleh dokter senior. Mereka bertiga jalan beriringan.

"Duh, maaf sekali ya, Gus. Masalah anak-anak jadi ikut ngrepotin Gus."

"Gak papa, Dok. Ini kan demi Qafiya, gimana pun dia sudah dianggap keluarga oleh pondok ini."

Qafiya berjalan di belakang, tidak ikut mengobrol, mereka melewati para pengungsi. Tak lama kemudian Mario menyusul.

Dia menghentikan Qafiya, membuat Gus dan Dokter senior itu menoleh ke belakang.

"Kalian duluan aja, Mario mau ngomong sama aku."

Gus mengangguk, dia kembali berbincang dengan Dokter senior itu hingga ke depan gerbang pondok.

"Kamu mau ngomong apa?" tanya Qafiya.

Mario terlihat canggung. Dia gugup.

"Aku minta maaf sudah salah paham."

"Iya aku maafin."

"Soal kemarin, kamu belum ngasih jawaban dari perasaanku."

Qafiya terdiam, menatap mata Mario.

"Gak perlu dijawab kamu sudah tahu, aku ada Qaishar, jadi gak bisa nerima kamu."

"Tapi kata Gus, kalian belum resmi secara negara 'kan?"

"Qaishar udah bantuin aku dari titik terendah, kalau aku khianati dia. Aku bakal jadi orang yang gak tahu malu. Udah dulu ya, aku harus pergi."

Qafiya berkata sudah memaafkan, tapi dia tidak bisa lupa sikap Mario dan teman-temannya kemarin. Menghina dan mencemooh sesuka hati mereka.

"Fiya!" Panggil Mario membuat Qafiya menoleh ke belakang.

"Jangan bersama Qaishar cuma karena balas budi! Aku yakin kamu gak mencintai dia!" Teriak Mario didengar semua orang termasuk Qaishar yang berada di pos tiga.

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang