20. Gus Fadil

517 109 16
                                    

Qafiya bisa menahan apapun, dia juga tidak terlalu meratapi nasibnya setelah kepergian Papa, tapi satu hal yang tidak bisa ia tahan, yakni dimusuhi semua orang.

Malam itu Qafiya keluar dari penampungan, ia bercerita kepada pamannya dan berharap paman bisa membantu.

"Dulu, saat kamu pergi dari sini, Paman sudah berusaha menjelaskan ke orang-orang, tapi tidak ada yang percaya, apalagi kamu sendiri tidak membela diri dan langsung pergi."

Qafiya pikir ia tidak akan kembali ke sini, maka dari itu ia tidak peduli jika orang-orang salah paham.

"Mau dijelasin ke santri pun, sekarang udah ganti santri. Banyak yang sudah lulus, sudah nikah, sudah kerja. Santri yang tinggal di sini yang tahu ceritamu dulu cuma dikit. Gimana jelasin ke orang-orang yang sudah lulus itu, kan tidak mungkin kita dihubungi satu persatu."

"Trus sekarang temen-temenku ngiranya aku cewek gak bener, aku harus gimana Paman?" tangis Qafiya sembari membuang ingusnya.

"Gimana lagi, Paman juga gak tahu. Coba minta Qaishar yang jelasin, mereka kan belum tahu kalau suamimu itu Qaishar."

"Kayaknya gak bakal didenger, mereka pasti mikirnya aku ngadu ke dia."

Qafiya ke sini membawa handuk dan baju ganti, berniat numpang mandi sekalian.

"Yaudah, mandi dulu sana. Nanti Paman cari cara."

Walaupun dulu Paman bilang tidak mau mengurus Qafiya lagi, tapi ternyata tetap peduli. Gadis itu mengangguk dan mengambil embernya. Pergi ke kamar mandi.

Setelah mandi dan sholat isya, ia numpang makan. Teman-temannya masih marah, pasti dia tidak disisakan makanan seperti kemarin malam.

"Fiya, Gus Fadil udah nunggu. Cepat keluar."

Tulang ikan hampir tersedak di tenggorokan, Qafiya buru-buru menghabiskan makanan dan mengambil air minum.

"Ngapain bawa-bawa Gus sih, duh serasa ketemu mantan, padahal pacaran aja gak pernah."

Qafiya bergumam sembari mengintip ke depan, sungguh ada Gus Fadil di sana. Ingatan tentang kebersamaan mereka mendadak berputar kembali.

Hampir setengah tahun menjadi tunangan Gus, setelah itu tiba-tiba dia menikah dengan orang lain, menjelaskan ke Gus saja tidak pernah, pamitan saat pergi juga tidak.

Tiba-tiba bertemu lagi, rasanya canggung.

"Duhh ngapain sih Paman bawa Gus ke sini," gumam Qafiya lagi.

"Hey, cepat sana. Pamanmu udah manggil tuh." Bibi mengagetkannya.

"Ih Bibi, aku malu ketemu dia, kenapa Risma gak ikut sih?"

"Risma siapa?" tanya Bibi.

"Risma loh teman sekamarku dulu yang disukai Gus, mereka kan saling suka. Bukannya sekarang mereka udah nikah ya?"

Bibi mencoba mengingat.

"Setelah kamu pergi, Gus gak sama siapapun. Apalagi si Risma yang Mak nya germo tobat itu."

"Hah? Beneran? Sekarang Gus Fadil masih jomblo?"

Bibi mengangguk. Dia ingat sekali pesan yang dikirim Gus Fadil untuk Risma, berisi bahwa Gus Fadil menyukai Risma dan berniat memberitahu Pak Kiai soal itu.

Walaupun tak direstui katanya tetap akan menikahi Risma, badai menerjang dan tsunami menghantam tidak jadi penghalang. Surat alay itu terngiang kembali di ingatan Qafiya. Membuat bulu kuduknya berdiri.

"Fiya! Cepat ke sini!" Panggil Paman.

Bibi mendorongnya keluar, gadis itu mau tidak mau menemui Gus dalam segala kecanggungan.

Gus Fadil tambah ganteng, tambah alim, dan senyumnya menyilaukan. Dulu Qafiya sempat terpesona dengan wajahnya itu. Tapi ketika mengingat surat alay, ia langsung ilfeel.

"Sudah lama ya, gimana kabarmu?" tanya Gus Fadil.

"Ah, aku baik. Gimana kabar Gus?"

"Masih jomlo."

"Aku pikir udah nikah sama Risma."

Gus Fadil terkejut mendengar itu. Mungkin tidak menyangka Qafiya tahu hubungannya dengan Risma.

"Risma cerita ke kamu?"

"Gak, aku cuma baca surat yang Gus Fadil kirim buat Risma."

"Apa surat itu yang buat kamu salah paham dan membuatmu tidak mau menikah denganku?" tanya Gus Fadil dengan wajahnya yang tampan-tampan sok tampan.

"Gak, aku emang pingin pergi kok."

"Apa kamu gak baca balasan Risma ke saya waktu itu?"

"Gak lah, ngapain. Bukan urusanku."

Gus Fadil tersenyum, ia mengambil kopi yang tersuguh di depan. Lalu berdiri.

"Ayo temui teman-temanmu, biar saya yang jelaskan ke mereka."

"Gus kan gak tahu kejadian yang sebenarnya, emangnya Gus percaya kalau aku bilang aku gak pernah ngapa-ngapain sama Qaishar?"

"Saya tidak percaya."

"Tuh, kan."

"Tapi saya percaya pada Qaishar, saya percaya tipe idaman dia bukan kamu," lanjut Gus percaya diri.

Paman menyela. "Udahlah, nurut aja sama Gus Fadil. Cepat sana sebelum teman-temanmu tambah salah paham."

Qafiya cemberut, tidak ingin minta bantuan Gus apalagi berurusan dengannya lagi. Tapi keadaan mendesak.

Dulu hubungan mereka canggung, dalam hati Qafiya juga lumayan kesal dengan isi surat alaynya Gus. Bisa-bisanya sudah bertunangan tapi mau melamar Risma.

Apa Gus tidak memikirkan nasibnya nanti? Jadi sebelum Gus membuangnya, ia membuang Gus duluan. Tapi semuanya malah jadi kacau.

Mereka berjalan depan belakang, masuk ke area pengungsian. Qafiya masih membawa ember berisi sabun. Baju kotornya numpang cuci di tempat Paman. Lumayan di sana ada mesin cuci.

"Berarti sekarang kamu sudah jadi Dokter?" tanya Gus.

"Belum, masih harus ujian dulu, magang dulu, masih panjang prosesnya."

Gus Fadil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Setelah jadi dokter, kamu boleh balik ke sini."

"Ngapain?"

"Jadi istri saya."

Qafiya langsung melotot.


Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang