Di dalam ketidakpastian itu, Qafiya termenung cukup lama, ia tidak bisa menyusul Qaishar ke Singapura, uangnya tidak cukup. Ditambah, ia takut menganggu. Jika dari awal Bunda berniat membawanya, pastilah tidak akan meninggalkannya di pengungsian.
Bagaimana jika ke sana tapi dia dianggap beban? Dianggap menganggu? Dia cukup tahu diri. Sekarang dia bukanlah istri Qaishar secara resmi.
Ia menghubungi Xana, menceritakan bahwa dia sudah berada di Jakarta. Sekarang dia hanya punya Xana. Orang tuanya Xana juga bilang dia boleh numpang di sana.
"Tunggu di sana, aku jemput kamu sekarang."
Panggilan ditutup, matahari mulai meninggi, perut Qafiya sudah berbunyi, tapi dia tidak berniat mencari makan sama sekali.
Satu jam kemudian Xana datang memakai mobilnya, berlari ke arah Qafiya yang lemas. Dia segera memeluk sahabatnya itu.
"Kayaknya aku dihukum, dari dulu gak pernah bahagia."
Qafiya tampak putus asa.
"Tuhan pasti menyiapkan hadiah indah untukmu, kamu bisa melewati semua ini."
Dalam pelukan itu, semua kegelisahan Qafiya tersalurkan. Dia sudah cukup kuat sejak Papa meninggal. Kata Papa dulu, jika dia sabar maka kebahagiaan akan menanti di depan sana.
Terakhir kali dia merasa bahagia saat bersama Papa, itu sudah lama sekali. Setelah Papa meninggal, hanya ada jalan terjal di depannya. Tanpa ia tahu di mana ujungnya. Dia terus berjalan, kadang berlari, tak memeduli rasa sakit yang menghantam kanan dan kiri.
"Ayo pulang," ajak Xana. Membawakan koper Qafiya.
Saat ini Qafiya bersyukur memiliki sahabat seperti Xana, orang tua Xana juga menyambut kedatangannya.
"Tante akan minta Bibi siapkan air hangat untuk mandi, kamu pasti capek." Ibunya Xana sangat baik.
"Makasih banyak, Tante."
Sepertinya Mama tidak tahu bahwa barang-barangnya ada di rumah Xana, ia tidak ingin tahu kabar Mamanya. Mama sudah bertemu dengan suaminya, adik-adiknya ternyata juga masih memiliki ayah. Jadi Qafiya merasa tidak akan kewajiban mengurusi mereka.
Setelah mandi dan makan, dia dipersilahkan istirahat di kamar tamu. Rumah Xana luas. Xana anak orang kaya.
"Kalau kamu mau nyusul ke Singapur, gak perlu mikirin biayanya, aku ada tabungan."
Tawaran Xana menggiurkan, tapi Qafiya tidak mau merepotkan Xana lebih dari ini.
"Gak usah, aku tunggu kabar aja. Selama Qais selamat, aku gak masalah jauhan kayak gini."
Qafiya sedikit berbohong, sebenarnya dia ingin sekali menjenguk Qaishar, melihat wajahnya secara langsung. Melepas kerinduan dan rasa khawatir yang memenuhi dadanya.
Xana mengangguk, lalu keluar dari kamar Qafiya. Setelah pintu ditutup, Qafiya menangis dalam diam. Ia melihat ponselnya, beberapa kali dia mengambil foto Qaishar ketika di pengungsian. Mereka juga pernah foto bersama walaupun itu foto rombongan, Qaishar tepat berdiri di sebelahnya.
Dia semakin rindu, kembali membuka percakapan mereka. Sampai sekarang Qaishar belum membalas, begitu juga bunda.
Namun, tiba-tiba Bunda menelpon, Qafiya langsung duduk dan menghapus air matanya. Dia mengangkat telepon dari Bunda.
"Assalamualaikum, Bun."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh. Kamu sudah di Jakarta, Nak?"
"Iya, Bun. Tadi pagi aku nyampe."
"Maaf ya, Nak. Bunda tidak tahu, sekarang Qaishar sedang dirawat di Singapur, kalau tahu kamu datang hari ini, Bunda pasti mengajakmu ke sini."
Mendadak hati Qafiya sangat lega.
"Gak papa, Bun. Sekarang keadaan Qais gimana?"
"Dia sudah sadar, tapi belum bisa banyak gerak. Tangannya kirinya patah. Sekarang sedang pengobatan."
"Boleh minta fotonya gak, Bun?"
"Iya nanti Bunda kirimkan."
Setelah menerima foto Qaishar, rasa rindu Qafiya sedikit terobati. Dia sangat lega melihat Qaishar membuka mata.
"Alhamdulillah, aku seneng lihat Qais udah sadar. Kapan kalian pulang ke Indonesia?" tanya Qafiya.
"Mungkin sekitar dua minggu lagi, kami masih melakukan pemeriksaan lainnya."
"Ah, iya. Bun. Kalau pulang nanti kabarin aku ya?"
"Iya, Nak."
Mereka mengobrol singkat sebelum panggilan dimatikan. Sekarang Qafiya sangat lega. Dia bisa belajar dengan tenang untuk ujian nanti.
Keesokan harinya Qafiya ke kampus, melakukan pendaftaran untuk ikut ujian. Sekalian mengurus administrasi. Di sana dia bertemu teman-teman seangkatannya.
Satu pun dia tidak melihat Mario dan gengnya.
"Mereka kan lagi dihukum karena meninggalkan pengungsian secara mendadak," ujar salah seorang mahasiswa.
"Katanya dokter senior di pengungsian yang ngaduin kelakuan mereka ke kampus."
Qafiya bisa menebak, pasti itu Dokter Tina.
"Mereka dihukum apa?" tanya Qafiya.
"Mereka diskors, terus ada tambahannya gitu. Katanya sih rahasia. Awalnya mereka mau dikeluarin, tapi orang tua mereka datang ke kampus akhirnya mereka cuma diskors sama dikasih hukuman tambahan," jelas Abel. Menceritakan dengan semangat.
Qafiya penasaran hukuman tambahan apa.
"Eh, emangnya bener ya mereka ninggalin pengungsian waktu banyak pasien berdatangan?" tanya Laila.
Qafiya mengangguk. "Padahal waktu itu aku dah mohon ke mereka buat jangan pergi, tapi mereka tetap pergi."
"Syukurin deh sekarang mereka dihukum, biar tahu rasa."
Selesai menggosip, mereka belajar bersama, juga diskusi untuk ujian nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Pedang Pora (TAMAT)
Teen FictionQafiya dan Qaishar terikat karena sebuah kesalahpahaman, ketika mereka berpisah Qafiya pikir hubungan mereka sudah berakhir. Namun, 6 tahun kemudian mereka dipertemukan kembali di sebuah pengungsian gunung Semeru. Ikatan yang Qafiya pikir sudah tid...