8. Pergi

581 101 21
                                    

Es krim di tangan mulai meleleh, tak ada air mata di pipi Qafiya, matanya terus melihat jalanan yang dipenuhi orang-orang. Akhir pekan di taman cukup ramai meskipun matahari terik.

"Gak nangis?" tanya Qaishar.

"Pingin nangis sih, tapi semua udah terlanjur, harta Papaku gak bisa balik, rumah sudah dijual, aset-aset dijual waktu Mama nikah lagi, aku gak kebagian apapun. Padahal itu semua hakku, tapi malah dikuasai suaminya Mama."

Qafiya menjilati es krimnya, seolah kemalangannya hal biasa. Dia tidak ambil pusing soal harta, ingat papanya pernah bilang, asal punya kemampuan dan bakat maka di manapun berada, uang akan mengikuti.

Dia cantik, nilainya juga bagus, punya banyak kenalan kalau ingin pekerjaan. Hanya saja, saat ini dia belum memutuskan ingin melakukan apa.

"Ayah tirimu akan mendapatkan karmanya sendiri, tunggu saja."

"Iya aku lagi nonton karma buat mereka. Mau bales sendiri males, buang-buang waktu."

"Tumben," sindir Qaishar memakan es krimnya.

"Aku ini baik, cantik dan cerdas. Jadi buat apa buang-buang waktu buat mereka. Suatu hari nanti, aku yakin Mamaku bakal ngemis-ngemis ke aku."

"Kamu mirip Gus Fadil. Kenapa kalian gak nikah aja?"

"Gak gak, kalau itu aku gak mau. Lagian ada orang yang lebih pantas dari aku buat nikah sama Gus."

"Siapa?"

"Orang yang dicintai Gus."

Qaishar menelengkan kepala, tak menduga bahwa Gus punya wanita yang dicintai dan Qafiya mengetahuinya.

"Nikah karena dijodohin itu gak asik," ucap Qafiya.

"Kalau nikah terpaksa?"

Kali ini Qafiya menoleh, menatap Qaishar lalu tersenyum lebar hingga gigi yang penuh es krim coklat terlihat. "Sama aja gak seru."

Gadis itu berdiri, menyibak roknya yang kotor. Dia berbalik dan menatap Qaishar.

"Pacaran dulu yuk sebelum aku pergi kuliah?" Qafiya mengulurkan tangan.

Sejenak Qaishar terpaku, ternyata Qafiya sudah memutuskan bahwa mereka akan berpisah. Memang tidak benar tinggal bersama tanpa cinta, apalagi pernikahan terpaksa.

Pemuda itu tersenyum dan menerima uluran tangan Qafiya. Dia berdiri hingga membuat Qafiya mendongak menatapnya.

Mereka bergandengan tangan menyusuri taman, sembari makan es krim, melalui pohon-pohon rindang kota. Tak ada yang bicara, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

Qaishar terus memandangi gadis di sebelahnya, tidak pernah ia melihat gadis yang sesantai ini dalam menghadapi masalah bertubi-tubi.

Qafiya sudah memutuskan untuk kuliah kedokteran seperti keinginan papanya dulu.

"Bantu aku masuk UI sebelum kamu daftar TNI," ucap Qafiya.

Tangan mereka masih bergandengan, pemuda yang selalu menjaga jarak dengan wanita itu tak menghempas lendotan Qafiya, malah ia menarik gadis itu semakin dekat.

"Kamu butuh les?"

"Aku butuh uang. Kuliah kedokteran itu mahal. Lesnya juga mahal. Aku cuma punya waktu sebulan lagi buat daftar jalur mandiri."

"Baiklah, aku bantu. Tapi setelah itu kita--"

"Gak akan ketemu lagi, tapi kalau aku sudah sukses. Aku bakal balikin duitmu lewat Bunda."

"Eh, apa?" Qaishar menelengkan kepalanya, bukan itu yang dia maksud.

"Kamu gak suka sama aku 'kan? Kamu juga benci paman nitipin aku ke kamu. Kamu pasti merasa kerepotan ada aku. Tenang aja aku tahu diri, jadi pinjemin aku duit dan aku bakal ngilang."

Qaishar melepaskan tangan Qafiya.

"Setelah ngutang kamu mau ngilang?"

"Aku bayar kalau udah sukses."

Qaishar terdiam, wajahnya masam. Dia berjalan duluan. Meninggalkan Qafiya tanpa keputusan.

Gadis itu mengejar, mencoba menyamai langkah mereka.

"Boleh kan?"

"Terserah."

Keputusan gadis itu sudah bulat, ia juga bilang ke Bunda tentang tujuannya. Bunda langsung setuju dan mendoakan keberhasilan Qafiya. Beliau juga yang mengurus tempat tinggal baru Qafiya di Jakarta. Memberikan tabungan yang nilainya sangat cukup untuk hidup layak.

"Semoga kamu berhasil, Nak."

"Semoga Kak Qais juga berhasil ya, Bun."

Qafiya melihat Qaishar yang muram di belakang Bunda, tak memberikan satu dua patah kata perpisahan. Malah berbalik dan masuk ke dalam rumah.

Qafiya melambaikan tangan ke Bunda, ia diantar paman untuk pindahan. Sementara Qaishar melihat kepergian gadis itu lewat jendela kaca.

Pertemuan mereka singkat, di saat Qafiya merasa hubungannya dengan Qaishar sudah berakhir, Qaishar malah sebaliknya. Dia merasa tetap bertanggung jawab atas Qafiya dan tidak mengucapkan talak.

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang