22. Mereka Pergi

497 104 20
                                    

Qaishar menoleh setelah mendengar suara keras Mario, jarak mereka hanya satu tenda, ia penasaran dan semakin mendekat.

Terlihat Qafiya sedang berhadapan dengan Mario, pria itu seperti memaksa Qafiya menerimanya. Qaishar tidak suka ada serangga yang mendekati istrinya.

"Ini bukan masalah balas budi, tapi udah banyak yang Qaishar lakuin buat aku-"

"Benar kan cuma balas budi, orang tua ku juga kaya. Kamu gak akan kekurangan kalau bersamaku."

"Bukan masalah kaya atau gak, kamu gak ngerti!"

"Orang tuaku DPR, orang terpandang, kalau kamu jadi menantu mereka, semua fitnah yang sekarang menyebar gak bakal ada artinya lagi."

"Ya itu masalahnya, walaupun tanpa Qaishar pun, aku gak bisa sama kamu. Kayak kata kamu barusan, orang tuamu terpandang sementara keluargaku rumit banget. Lagian, dari pada sama aku yang udah punya suami, bukannya lebih baik kamu sama Syilfy?"

"Kenapa Syilfy?"

"Dia kan ke sini karena ngikut kamu," ucap Qafiya.

Mario terdiam. "Lalu apa hubungannya? Aku gak pernah menyuruhnya ikut. Wanita yang aku mau cuma kamu, jangan alihkan pembicaraan."

Mario memegang tangan Qafiya, gadis itu berusaha lepas, tapi tenaga Mario lebih kuat. Padahal sebelumnya Mario selalu bersikap sopan padanya, tapi akhir-akhir ini dia sangat agresif.

"Aku gak suka ya kamu maksa kayak gini," ucap Qafiya.

"Sebutkan kurangku dibanding Qaishar?"

"Dia khatam alfiyah, dia baik, dia ganteng!" Bentak Qafiya.

Qaishar yang tadinya ingin maju menolong seketika berhenti, bibirnya tersenyum. Dia baru tahu pendapat Qafiya tentangnya ternyata seperti itu.

Mata Mario marah menyala, dia tidak suka ditolak, tangannya menggenggam Qafiya lebih erat.

"Aku ke sini karena kamu, memang perjuangan seperti apa lagi yang kamu inginkan?"

"Lepas! Aku gak pernah minta kamu ikut ke sini."

"Tanpa aku yang bawa tenaga medis ke sini, kamu bakal kerepotan, kenapa kamu gak liat semua perjuanganku?" tanya Mario.

Qafiya tidak pernah menginginkan perjuangan dari Mario, sekalipun Mario tidak membawa teman-temannya ke sini, pasti pemerintah akan memanggil tenaga medis yang lain.

Mario bersikap seolah jika tidak ada dia, maka tidak ada tenaga medis di sini.

"Sudah cukup," ucap Qaishar melepaskan tangan Mario.

"Jangan ikut campur!" Bentak Mario, dia tidak lagi memedulikan pandangan orang-orang.

Kali ini Qaishar berdiri di depan Mario, membelakangi Qafiya yang jauh lebih pendek dari mereka.

"Hentikan, sampai kapan pun Qafiya tidak akan pernah jadi milikmu, karena dia milik saya dan saya tidak akan pernah melepaskannya."

Mendengar itu Mario mendengus kesal, sorot matanya semakin marah. Dia merasa terhina di keadaan ini.

"Lihat saja, saya akan membalas kalian."

Mario pergi dari sana, tidak menoleh ke belakang sedikitpun, langkahnya cepat menuju tenda medis.

Setelah Mario tak terlihat lagi, barulah Qaishar berbalik, melihat ke bawah, ada Qafiya yang sedang tertunduk.

Tangan Qaishar terulur, mengusap ujung kepala Qafiya yang tertutup hijab, gadis itu pun mendongak. Melihat senyum Qaishar yang manis.

"Susah ya jadi orang cantik?" tanya Qaishar.

Seketika Qafiya tersenyum, kepercayaan dirinya bangkit kembali.

"Iya nih, udah punya suami masih juga dikejar-kejar."

"Sekarang ngaku kalau aku suamimu?" tanya Qaishar.

Seketika Qafiya terdiam, ia mengalihkan pandangan, tidak berani menatap pemuda yang penuh harap itu.

"Gimana ya, ntah."

Qafiya berjalan cepat meninggalkan tempat, diikuti Qaishar yang mengejarnya, berusaha mendapatkan jawaban yang diinginkan.

Mereka bercanda sepanjang jalan, juga mengobrol di dekat tenda medis yang sudah sepi. Sekarang Qafiya tidak takut ketahuan lagi, semua orang sudah tahu kalau Qaishar adalah suaminya.

"Kata Gus Fadil, aku bukan tipemu." Adu Qafiya.

"Kapan dia bilang gitu?"

"Tadi, katanya kamu lebih suka cewek yang bercadar."

Mendengar itu Qaishar terdiam, dia berdeham. "Bercadar emang bagus, tapi bukan kewajiban. Gak usah dipikirin, tipe ku atau bukan, yang pasti aku tetap menyukaimu."

Jawaban itu membuat pipi Qafiya memerah.

Meski awalnya tidak mau mengakui, tapi Qafiya tidak bisa menyangkal, apalagi jika dipikir secara logis memang sudah sepantasnya dia memilih Qaishar.

Dia pemuda baik, membiayainya meraih cita-cita, keluarganya juga baik terutama bundanya. Tidak ada yang kurang dari Qaishar, hanya satu yang membuat Qafiya ragu, yakni apakah dia mencintai Qaishar?

Pikiran itu tidak dia ungkapkan, ia mendengar cerita Qaishar tentang tugasnya sebagai penjaga pos tiga. Katanya besok dia akan giliran mengevakuasi warga. Gunung Semeru semakin menjadi dan menghanguskan beberapa desa.

Pagi itu, sebelum anggota TNI berangkat. Mereka dikejutkan dengan truk berisi orang-orang sakit terkena gumpalan awan panas. Rupanya orang-orang itu adalah warga yang belum dievakuasi.

Para korban itu segera dibawa ke tenda medis, di sana hanya ada dua dokter senior dan Qafiya. Perawat juga hanya ada beberapa.

"Cepat panggil teman-temanmu! Situasi sekarang darurat!" Perintah dokter senior.

Qafiya segera berlari ke tendanya, ia mendapati teman-temannya termasuk Mario sudah berkemas.

"Kalian mau ke mana? Para korban berdatangan, ayo obati mereka!"

Pandangan dingin Mario terarah untuk Qafiya. "Kamu saja sendiri, urusan kami di sini sudah selesai."

Mario dan teman-temannya bersikap egois, mereka pergi meninggalkan tenda dan membawa barang-barang mereka.

"Tunggu! Kalau kamu marah sama aku, lampiaskan ke aku, jangan ke pasien!" Teriak Qafiya.

Mario berbalik. "Ini hukuman buatmu."

Mario kembali berjalan pergi bersama teman-temannya.

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang