30. Pedang Pora

286 95 23
                                    

Pamannya Qais keluar untuk merokok, tapi malah bertemu dengan Qafiya dan mengobrol dengannya. Mereka bicara di halaman, tepat di bawah logo keluarga yang terpajang di atap rumah.

Kata Pamannya Qais, orang yang seharusnya mewarisi semua kekayaan dan jabatan di organisasi ini adalah Qaishar. Dia keturunan murni dari pendiri Siluet.

Sementara Paman Elgar hanyalah adik angkat ayahnya Qaishar, tidak ada darah keturunan pendiri Siluet sama sekali. Beliau berharap Qaishar mau mewarisi organisasi ini.

"Paman harap kamu bisa membujuk Qaishar."

"Sebenarnya waktu di pengungsian aku selalu khawatir saat dia mengevakuasi warga, apalagi dia hampir mati karena itu. Aku gak bisa bayangin kalau suatu saat dia harus mengalaminya lagi. Tapi, aku gak berhak ngelarang apapun keinginan Qais. Dia punya pikiran sendiri, keinginan sendiri dan cita-cita."

Kalimat itu mengandung unsur bahwa Qafiya tidak bisa membujuk Qaishar mewarisi organisasi seperti keinginan paman.

"Apa kamu tidak khawatir jika Qaishar ditugaskan di tempat bahaya?"

Qafiya diam sesaat. "Tentu khawatir, makanya aku mau daftar jadi dokter militer."

Gadis itu tersenyum cerah, sangat yakin dengan ucapannya. Dia hanya ingin jadi dokter, tapi tidak ada tujuan spesial. Namun, selama menjadi relawan kemarin. Dia merasa ada panggilan jiwa di sana.

Ditambah, suaminya adalah orang militer. Jika dia menjadi dokter militer, tentu akan membuka banyak peluang untuk terus bersama Qaishar.

"Kalian begitu kompak, Paman tidak bisa melakukan apapun lagi."

Paman mengangkat bahu, sudut bibirnya tersenyum meskipun nada bicaranya kecewa. Qaishar datang kemudian membawa minuman, ikut mengobrol bersama mereka.

Beberapa hari kemudian Qafiya mengajak Qaishar ke rumah Mamanya, ayah tiri ada di sana, menatap tajam seolah bersiap mengusir.

Mereka tidak disuguhi minuman atau pun cemilan, kedua adik Qafiya berlari ke arah mereka. Mereka berkata kasar tapi tidak dihentikan orang tuanya. Qaishar sampai terkejut.

"Kami beda ayah," ucap Qafiya tidak mau disamakan dengan kedua adiknya oleh tatapan Qaishar yang penuh tanda tanya.

"Walaupun beda ayah tapi kamu tetap kakak mereka, kamu bertanggung jawab atas mereka tapi malah kabur. Apa itu yang disebut kakak hah?" Bentak Mama.

"Aku ke sini bukan buat debat, Ma. Aku ke sini cuma mau ngasih tahu calonku. Namanya Qaishar."

"Nama saya Qaishar."

Qaishar mengulurkan tangan, tapi tidak disambut. Mama malah melengos.

"Apa pekerjaanmu?" tanya Mama.

"Saya anggota TNI," jawab Qaishar.

Suami Mama dan Mama langsung berpandangan, mereka berdehem.

"Kami sudah tidak bisa bayar kontrakan, lebih efisien kalau setelah kalian nikah kita tinggal bersama. Gajimu sebagai TNI pasti banyak," ucap ayah tiri.

Qaishar tampak bingung menjawab.

"Setelah nikah aku ikut Qais tugas, aku akan jadi dokter militer. Kalau kalian mau ikut ke daerah konflik ya silakan, tapi aku gak jamin keselamatan kalian." Qafiya menjawab dengan tegas.

"Gak guna dong kalian ke sini," ucap Mama lirih sembari melengos.

Obrolan tidak penting itu membuat Qafiya sangat lelah, basa basinya Mama hanya menginginkan uang, begitu juga suaminya.

Qafiya mengeluarkan dua ratus ribu, masing-masing untuk kedua adiknya. Setelah itu dia berpamitan, tidak mengindahkan Mama yang mengeluh belum bayar kontrakan.

"Mama punya suami, suruh suami Mama itu kerja."

Qafiya berbalik dengan dingin. Dia tidak berharap Mama datang ke pernikahannya.

Benar saja, bulan berikutnya saat pesta pernikahan itu. Mama menghubunginya, minta uang 20 juta jika mau pernikahannya dihadiri.

"Kamu pasti malu kalau tidak didampingi orang tua, jadi kirim--"

"Gak Ma, Paman dan Bibi di sini. Mereka yang akan duduk di tempat orang tuaku. Jadi Mama gak dateng gak papa."

Saat itu Qafiya sudah selesai didandani, ia meletakkan ponsel jauh darinya. Tidak mau mengangkat panggilan Mama lagi.

Selesai didandani, para Bridesmaidnya datang, memakai seragam yang dia bagikan. Chelsea, Adel, Dokter Irma dan Xana. Mereka berempat kompak memuji penampilan Qafiya.

"Temen-temen Qaishar udah dateng bawa pedang Pora," ucap Adel.

"Aku belum pernah lihat upacara pedang Pora secara langsung," ucap Xana.

"Semoga kita bisa nyusul kayak gitu," ucap Dokter Irma.

"Aku bakal segera nyusul, aku mau gaet satu temennya Qaishar." Chelsea mengatakan itu dengan percaya diri.

Pengantin wanita dipanggil, segala prosesi pernikahan dilakukan dengan jantung berdebar kencang, terutama saat bertemu Qaishar yang memakai pakaian rapi.

Pernikahan impiannya, sangat megah dan elegan. Genggaman tangan Qaishar, pedang Pora di atas mereka, dan taburan bunga dari teman-temannya.

"Andai Papa ku masih hidup, pasti dia akan sangat bahagia melihatku menikah." Qafiya menyayangkan hal itu.

"Papa mu pasti melihat kita dari alam sana."

"Makasih karena udah ngasih pernikahan yang seindah ini."

"Semua ini hadiah untukmu karena berhasil bertahan dari berbagai kesulitan, mulai sekarang aku akan melindungimu bagaikan pedang."

Qafiya mengangguk, ia menerima semua hadiah indah yang Qaishar berikan ini. Dia juga percaya bahwa Qaishar akan selalu melindunginya.

TAMAT

Makasih banyak udah baca cerita ini sampai selesai, sampai ketemu di cerita selanjutnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang