25. Mencarinya

461 105 7
                                    

Obrolan dengan Bunda dilanjutkan hingga setengah jam, Qafiya sampai keringat dingin, belum pernah segugup ini. Dia takut salah bicara, apalagi tata cara Bunda berbicara sangat elegan.

Dulu saat dia numpang di rumah Bunda, beliau bersikap hangat, Qafiya juga tidak merasa canggung dan bahkan bisa bercanda. Saat itu ia pikir tidak akan bertemu Bunda lagi.

Namun sekarang, Bunda menjadi mertuanya. Bisa jadi setelah menikah ia akan tinggal bersama Bunda. Pikiran-pikiran negatif langsung bersemayam di benaknya.

Bagaimana jika Qaishar tidak membelanya di depan Bunda? Bagaimana jika Bunda cemburu saat Qaishar memberi perhatian padanya? Bagaimana jika ternyata Bunda tidak sebaik yang dia kira.

"Fiya, kamu denger Bunda?"

Pertanyaan Bunda memecah lamunannya.

"Eh, iya. Bun. Fiya denger."

"Nanti kita lanjutkan setelah kalian tiba di Jakarta," lanjut Bunda.

"Iya, Bun."

"Kalau gitu Bunda tutup dulu, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh."

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh."

Panggilan dimatikan, Qafiya langsung menarik napas lega. Sebentar lagi dia akan memiliki keluarga baru, ia tidak akan sendirian lagi. Juga terbebas dari Mamanya.

Ah, bicara soal Mama. Sejak dia pergi Mama terus menelpon, tidak pernah ia angkat. Chat panjang Mama tentang dia menjadi anak durhaka pun dia baca. Tapi tidak dibalas.

Karena dirasa mengganggu, akhirnya Qafiya memblokir nomor Mamanya. Ntah nanti dia akan memberitahu Mama tentang pernikahannya atau tidak. Jujur, dia takut Mama dan suami barunya membuat masalah.

Sore harinya dia ke rumah Paman, membicarakan tentang pesta pernikahan.

"Nanti Paman dan Bibi mu akan bantu urus, gak usah libatin Mamamu. Nanti malah uang seserahan diambil." Paman tahu sifat Mamanya Qafiya.

Bibi datang membawa cemilan, lalu ikut duduk di samping Qafiya.

"Mamamu itu dari dulu kok gak berubah, padahal kamu anak kandungnya."

"Ntahlah Bi, Mama bilang aku anak durhaka, tapi kayaknya lebih durhaka Mama karena minta aku biayain dia sama suami barunya."

"Jangan mau, sudah cukup kemarin kamu terlunta-lunta gara-gara mereka." Paman naik pitam. Terlihat sangat kesal.

Padahal Qafiya pikir Paman akan menasehatinya atau menyalahkannya. Paman seorang ustadz, bisa jadi dia akan tetap disuruh berbakti meskipun kelakuan Mama seperti itu.

Rupanya Paman malah membela Qafiya. Bibir gadis itu tersenyum, ia terharu. Kepalanya mengangguk.

Mereka mengobrol cukup lama, setelah isya Qafiya kembali ke tendanya. Dia menoleh ke post tiga. Biasanya Qaishar berjaga di sana.

"Kayaknya dia beneran nginep di luar," gumamnya. TNI yang lain juga belum pulang, hanya ada beberapa di pengungsian.

Perasaannya tiba-tiba tidak enak, dia terus kepikiran Qaishar sejak pria itu pergi.

Qafiya berharap tugas di sini segera selesai supaya mereka bisa kembali ke Jakarta. Namun, keesokan harinya saat rombongan TNI kembali, ia tidak melihat Qaishar di sana.

"Katanya ada banjir lahar dingin yang tiba-tiba datang, beberapa orang dan personil TNI hanyut." Dokter Irma memberitahu.

"Apa?!" Jantung Qafiya berdebar kencang, rasa takut tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhnya.

Dia segera berlari ke arah komandan yang sedang mengarahkan pengungsi ke tenda.

"Pak, Qais mana?" tanya Qafiya dengan wajah panik.

Komandan terdiam, ia seperti sudah mengenali siapa Qafiya bagi Qaishar. Wajahnya tampak sedih, ia membahasi bibir. Sepertinya sulit menjawab pertanyaan Qafiya.

"Sekarang tim SAR sedang mencari Qaishar."

Jawaban itu membuat tubuh Qafiya mendadak lemas, kakinya sulit menopang tubuh hingga hampir terjatuh andai Dokter Irma tidak menangkapnya.

"Berarti Qais ..."

"Dia hanyut ketika menjalankan tugas," jawab komandan.

Seketika ingatan Qafiya kembali ke kemarin pagi, saat Qaishar berpamitan. Senyuman itu, harapan akan pesta pernikahan yang meriah, dan kebahagiaan saat bersama. Tiba-tiba lenyap.

"Gak- gak mungkin, dia janji bakal pulang!"

Air matanya tiba-tiba saja jatuh, tidak bisa dikendalikan. Dokter Irma segera memeluknya.

Pikiran Qafiya mendadak kosong, hanya rasa takut yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Bagaimana jika dia tidak bisa bertemu Qaishar lagi?

"Kami akan mengirim tim untuk membantu Tim SAR," ucap komandan.

Qafiya melepaskan pelukan Dokter Irma, ia menghapus air matanya.

"Saya ikut," pinta Qafiya.

"Tidak bisa, kami memang membutuhkan bantuan medis. Tapi kalau kami membawamu yang seperti ini, itu akan beresiko."

"Saya janji tidak akan membuat masalah, saya mohon izinkan saya ikut!"

Komandan tetap tidak mengizinkan, tapi Qafiya bersikeras. Katanya dia harus pergi, tidak akan tenang di sini menanti kebar Qaishar.

Dia sampai mengancam akan mencari Qaishar sendiri jika tidak diizinkan ikut. Dokter Tina sampai ikut turun tangan, dia tidak bisa menghentikan keras kepalanya Qafiya.

"Kalau Dokter tidak melakukan semua yang dibisa untuk menyelamatkan orang yang Dokter cintai, apa Dokter masih bisa melanjutkan hidup?" tanya Qafiya.

Ceramah Dokter Tina tentang rasionalitas tidak berarti apa-apa bagi Qafiya. Kehilangan Qaishar yang telah membawanya menuju impian akan membuatnya trauma untuk meneruskan cita-cita.

Dokter Tina tidak bisa mencegah kepergian Qafiya, dari pada gadis itu nekat, lebih baik ikut rombongan tim. Bergabung dengan tim medis. Qafiya pergi mencari keberadaan Qaishar.

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang