Para pengungsi berbaris untuk menerima bantuan dan pemeriksaan kesehatan. Mario dan kawan-kawannya terlihat sangat sibuk, meski demikian Mario tidak lepas dari pandangannya ke Qafiya.
Gadis itu terlihat akrab dengan salah satu TNI yang bertugas, katanya teman satu pondok dulu, tapi ia curiga hubungan Qafiya dan pemuda itu lebih dari sekedar teman.
Apalagi mereka dipanggil bersama ke rumah pamannya Qafiya. Gadis yang dinilai selalu fokus dan tidak pernah ikut main itu jarang sekali tersenyum, apalagi mengobrol santai.
"Aku gak pernah liat Fiya akrab kayak gitu sama cowok," ujar Syilfy.
Rupanya semua teman Qafiya berpikiran sama.
"Kayaknya hubungan mereka spesial, kemarin mereka makan malem bareng di rumah Pak Ustadz yang katanya paman Qafiya kan." Imbuh yang lain.
"Berarti Paman Qafiya udah kenal deket sama cowok itu dong," imbuh yang lain.
Mario mendengarkan obrolan mereka. Dia berusaha fokus walaupun pikirannya kalut.
"Dok, saya tadi liat Dokter nembak Qafiya, saya kenal Qafiya karena saya pernah pondok di sini," bisik orang yang diperiksa Mario, wanita berhijab abu-abu.
"Kalian saling kenal?"
"Mungkin dia sudah lupa saya, tapi saya masih inget dia. Nanti saya ceritakan soal Qafiya."
"Nanti saya dengar cerita kamu."
Tak lama kemudian Qafiya bergabung dengan mereka, seolah tidak pernah terjadi apapun, dia langsung membantu memeriksa pasien. Mario juga kembali memeriksa pasien tersebut.
Setelah semua pengungsi pergi ke tenda, para medis membereskan tempat. Mario tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Apa hubunganmu dengan Mas-Mas TNI itu?" tanya Mario.
"Hubungan kami rumit," jawab Qafiya jujur.
Dia menghargai perasaan Mario padanya. Maka dari itu dia menjawab apa adanya.
"Rumit gimana? Bukannya kalian cuma teman?"
Tiba-tiba ada seorang ibu membawa bayinya ke tenda itu sembari memanggil dokter.
"Dok, anak saya panasnya tetap gak turun!" Dia langsung menghampiri Qafiya.
"Paracetamolnya udah habis?" tanya Qafiya memeriksa bayi berusia dua bulan tersebut. Suhunya mencapai 40 derajat.
"Sudah, Dok. Sudah saya minum semua."
Semua pandangan para medis di sana langsung melotot ke ibu tersebut, termasuk Qafiya.
"Yang minum Paracetamolnya anda? Bukan bayinya?" tanya Qafiya.
"Iya, dia kan minum ASI dari saya."
Qafiya terlihat kesal.
"Gini nih orang kampung, bodoh!" Mario terlihat kesal. Sampai membuat Qafiya menoleh.
"Kalau anakmu gagal jantung, kamu aja yang dioperasi, gitu?" tanya Mario lagi. Dia memang tempramental.
"Ta-tapi kata Ibu mertua, saya yang harus minum Paracetamolnya Dok."
Qafiya mengembuskan napas berat. "Sudah sudah, saya kasih obat lagi, ini kasih ke bayinya ya, jangan anda. Apalagi ibu mertua anda."
Setelah wanita itu pergi bersama bayinya, para medis geleng-geleng kepala. Mereka kembali membawa alat-alat ke tenda yang lain.
"Males banget kalau tugas di tempat orang-orang udik, susah dibilangin." Mario berkeluh kesah.
"Ya namanya juga gak tahu, wajarin aja, kalau ngeyel ya nyerah. Gak usah ngobatin orang yang gak mau sembuh."
"Aku pikir kamu bakal tetap maksa ngobatin," ucap Mario.
"Buat apa, aku juga manusia."
Mereka berjalan beriringan membawa kotak obat ke tenda, mengobrol tentang macam-macam pasien, sampai-sampai Qafiya tidak melihat Qaishar di post jaga yang memerhatikan mereka.
Keesokan harinya Qafiya tidak tahu kenapa sikap Mario dan teman-temannya berubah, saat ditanya tidak menjawab, menjauh dan membicarakan dia di belakang.
Seharian Qafiya bingung, hingga akhirnya dia menegur mereka karena tidak tahan ditindas semua orang. Dia bahkan tidak disisakan makan dan ditinggal mandi hingga harus berjalan sendirian mencari tempat mandi.
"Emangnya aku ada salah sama kalian?" tanya Qafiya.
"Dasar pura-pura sok suci, kamu itu penipu, cewek kotor." Syilfy bicara duluan.
"Apa maksudnya?" Qafiya memandang semua orang satu persatu.
Mario tampak sangat marah di pojokan sana, tidak berniat membantu Qafiya.
"Kamu cuma bilang pernah mondok di sini, tapi kamu gak pernah bilang dikeluarkan karena kumpul kebo kan?"
"Mario rela-relain ikut kamu ke sini tanpa tahu kamu cewek hina."
Semua orang menyalahkannya, Qafiya tahu bahwa mereka ikut ke sini bukan karena dia, tapi karena Mario yang populer.
"Aku gak kumpul kebo, sumpah."
"Kami sudah tahu semuanya, kamu gak usah bohong lagi."
"Siapa yang ngasih tahu kalian? Dia pasti salah paham, kalian tanya aja sama pamanku."
"Pamanmu kan keluargamu, udah pasti belain kamu."
Qafiya terdiam. Mario maju, dia mendekat.
"Siapa pria yang udah kumpul kebo sama kamu? Apa kalian masih berhubungan? Katanya kalian dinikahkan, apa kamu udah pisah sama dia?" Mario tanya beruntun.
Qafiya meremas ujung baju putihnya, dia kesulitan menjawab.
"Kalian udah putus hubungan atau belum? Apa dia masih jadi suamimu?" tanya Mario lagi.
Kali ini Qafiya sangat terpojok. "Masih."
Jawaban itu membuat Mario sangat kecewa, dia langsung menendang kursi yang ada di sana hingga mengenai meja, barang-barang berserakan.
Mario pergi ke tendanya, diikuti teman-teman yang lain, kecuali Syilfy. Dia terus merendahkan Qafiya dan mencaci makinya.
Qafiya hanya terdiam, tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ke mereka. Dia berusaha mengejar Mario dan teman-teman yang lain, tapi Syilfy menghalangi.
"Gak usah deket-deket Mario lagi, kamu itu cewek hina."
Di tempat yang berantakan itu, Qafiya terdiam, belum pernah dia meneteskan air mata seperti ini. Dimusuhi semua orang padahal ia tidak bersalah.
Dia menyesal dulu langsung pergi dari pesantren dan menganggap masalahnya selesai, pasti santri-santri yang lain tahunya dia diusir setelah kumpul kebo dengan Qaishar.
Dia tidak menyangka masalah 6 tahun lalu menjadi boomerang untuk masa depannya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Pedang Pora (TAMAT)
Teen FictionQafiya dan Qaishar terikat karena sebuah kesalahpahaman, ketika mereka berpisah Qafiya pikir hubungan mereka sudah berakhir. Namun, 6 tahun kemudian mereka dipertemukan kembali di sebuah pengungsian gunung Semeru. Ikatan yang Qafiya pikir sudah tid...